Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2017

Jika Nanti Hamzah Menikah

"Bun, Hamzah nanti kalo sudah nikah...Hamzah mau tinggal di rumah ini aja selamanya. Sampai mati." Anak itu, yang berusia lima tahun lima bulan, mengatakan itu kepada ibunya yang sedang menyusui adiknya. Ibunya kaget. "Maksud Hamzah?" "Maksudnyaa...Hamzah mau jagain bunda sama ayah walaupun Hamzah sudah nikah. Nanti Hamzah bilang sama istri Hamzah juga jagain bunda sama ayah." Ibunya tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba ada bendungan yg hendak jebol di matanya. Anak itu, yang baru berusia lima tahun lima bulan, bicara tentang bagaimana ia akan merawat orang tuanya. "Kalau Hamzah harus bekerja di luar Jambi?" "Luar negeri maksud Bunda?"tanyanya memastikan sambil menyendok makan malamnya. Iya, anak itu duduk di dekat kaki ibunya. Tadinya ingin disuapi, berhubung si adik masih menyusu, akhirnya makan sendiri. "Iya. Seandainya Hamzah kerja di luar negeri?" "Hamzah bawa Bunda sama Ayah. Kalau ndak boleh bawa Bunda sama

Sayangi Diri dan Bersabarlah...!

Kami duduk bertiga. Mengelilingi tudung saji rotan. Meja makan kami di malam hari bisa menjelma seperti meja di kedai kopi di kampung-kampung yg berhawa bakaran jerami. Dua gelas kopi hitam kental rebus ngebul di atasnya. Di meja kayu oktagonal itu segala hal dibahas. Seperti kedai kopi juga. Kedai kopi tanpa rokok. Tak ubah layaknya malam-malam kemarin, kami berbincang santai tentang apa saja yang dilakukannya hari ini. Bagaimana teman-temannya di sekolah dan bagaimana Ibu Anna-nya. Ada Adip yg bibirnya terluka terkena penggaris Rayhan. Ada teh yang diminumnya dua gelas. Ada An-Naba yang hampir mendekati 35 ayat. Ada Rafa yang lucu dengan rambut model barunya. Hampir botak! "Sedikit lagi...seginiiiii lagi...rambutnya mirip Om Fedry."jelasnya bersemangat dengan sendok yg menggantung. Kepala plontos Om Fedry meninggalkan kesan yang dalam agaknya. Andai Om itu tau.  😊 Sambil menyantap mie ayam, ia bertanya. "Bunda, sayang diri itu maksudnya apa?" "Sayang d

Apa pun Namanya

Entah tawakal atau bodoh namanya, namun kami masih mencoba untuk menyematkan sejuta harap pada Sang Khalik agar ia bisa bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Entah cinta buta atau kasih sayang yang memang sdh ditakdirkan-Nya hadir di hati kami 50 ribu tahun sebelum kami dan ia tercipta, apapun namanya itu, kami selalu berdoa untuk segala kebaikannya. Entah apa yang harus dikatakan sebagai bentuk syukur, apapun itu, kesejukan mengalir di dada ketika ia mengikuti sang qori melantunkan 40 ayat An-Naba, 46 ayat An-Nazi'at, dan 42 ayat Abasa. I just swallowed my tears. All the nights many years ago, when he recited the verses again and again and I checked them all with the Holy Quran in my arms flashbacked in a second. We did it every night. He was just a little boy. Then, how to erase all those beautiful nights? Menjelang mahgrib, kami pandangi punggungnya yg melaju. Ia bahagia? Pasti. Kami? Masih berdoa dan akan selalu begitu. Pada Al-Wakil, Sang Maha Pemeli

Peta di Kamar Abang Rio

"Bunda tau?" " Tau apa?"tanya bundanya sambil menarik pinggang celana piyama biru tua jagoan kecil itu. "Ini...! Salju di sini sudah ada lamaaaaa sekali. Sebelum Hamzah lahir salju di sini sudah ada, Bun."telunjuk tangan kanannya menempel di atas Greenland, daratan biru di ujung kanan atas peta di dinding. "Wuihhh...dingin sekali pasti ya, Zah." "Iya. Dan esnya itu, Bun...dak cair sampe sekarang."semangat sekali ia bercerita. Matanya masih di peta itu. "Trus, kita di mana, Zah?" "Di sini...!"tunjuknya ke benua paling bawah, "eh..bukan. Ini Australi. Di sini, Bun. Indonesia di sini!" "Iya. Dan kita persis di sini..."bundanya menunjuk Pulau Sumatra, di titik Jambi. "Kalau Belanda di mana, Bun?" "Niiihhh...Eropa. Belanda kecil. Niih...! Susah ya liatnya." "Iya. ...kalau ini Amerika latin." "Kok Hamzah tau?" "Ayah yg kasi tau. Ini Amerika."

Mereka

Kemarin malam, ada cerita tentang sepasang suami istri yang kebingungan mencari sumber pendapatan lain untuk menopang kehidupan keluarga kecil mereka. Usaha bakso bakar yang tengah mereka jalani tidak mencukupi sama sekali. Pukul sepuluh malam lebih masih menunggu pembeli. Jalan raya di depan mereka sudah sepi. Magrib ini, seseorang menelfon suami saya. Bertanya tentang pekerjaan yang mungkin bisa dilakukannya. Ia seorang kuli bangunan. Seorang bapak muda dengan istri yang butuh gizi cukup untuk menyusui bayi mereka. "Saya sedang kosong sekarang, Pak." Iba rasanya. Rezeki memang dijanjikan Allah bagi yang berusaha. Namun, tetap saja iba melihat mereka berjuang untuk hidup yang tidak mudah ini.