Skip to main content

Sayangi Diri dan Bersabarlah...!

Kami duduk bertiga. Mengelilingi tudung saji rotan. Meja makan kami di malam hari bisa menjelma seperti meja di kedai kopi di kampung-kampung yg berhawa bakaran jerami. Dua gelas kopi hitam kental rebus ngebul di atasnya. Di meja kayu oktagonal itu segala hal dibahas. Seperti kedai kopi juga. Kedai kopi tanpa rokok.

Tak ubah layaknya malam-malam kemarin, kami berbincang santai tentang apa saja yang dilakukannya hari ini. Bagaimana teman-temannya di sekolah dan bagaimana Ibu Anna-nya.

Ada Adip yg bibirnya terluka terkena penggaris Rayhan. Ada teh yang diminumnya dua gelas. Ada An-Naba yang hampir mendekati 35 ayat. Ada Rafa yang lucu dengan rambut model barunya. Hampir botak!

"Sedikit lagi...seginiiiii lagi...rambutnya mirip Om Fedry."jelasnya bersemangat dengan sendok yg menggantung. Kepala plontos Om Fedry meninggalkan kesan yang dalam agaknya. Andai Om itu tau.  😊

Sambil menyantap mie ayam, ia bertanya.

"Bunda, sayang diri itu maksudnya apa?"

"Sayang diri?"ibu anak itu mengulur waktu, mencari definisi yg tidak rumit dan mencoba sesederhana mungkin menggambarkan bagaimana konsep sayang diri kepada anak usia taman kanak-kanak O besar. Si anak masih menyantap mienya. Masih menunggu.

"Apa, Bun? Sayang diri."

"Kalau kuku panjang tidak dipotong, trus pas makan kuman-kuman yg ada dikuku masuk ke dalam perut. Bisa apa?"

"Sakit perut!"

"Itu sayang ga sama diri?"

Kepalanya menggeleng.

"Pakai motor, ga pakai helm,"lanjut sang ibu.

"Ga sayang diri. Nanti kecelakaan, kepalanya pecah."

"Makan es krim banyak-banyak, padahal amandelnya meradang?"

"Ga sayang diri juga"

"Pilek karena berendam lamaaa di bak mandi padahal sudah diperingatkan sama bundanya untuk mandi biasa aja. Itu sayang sama diri sendiri atau tidak?"

Kepalanya tidak menggeleng. Tidak juga mengangguk. Kepalanya dipenuhi sesuatu.

"Tapi Hamzah sabar dengan pilek ini, Bun,"jawabnya enteng. Enteng seenteng-entengnya sambil anteng-seantengnya menyendok mie yang tinggal setengah.

Di sini, di titik ini...ibu si anak memang harus mengakui kekalahannya. Ia kehabisan kata. Anaknya juara. 😘

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.