Skip to main content

Sopir Biru Karatan

Di dalam angkot biru jurusan pasar--Sipin Ujung, dalam perjalanan menuju kantor, saya menjadi penumpang tunggal Pak Sopir. Matanya liar melempar pandang ke depan, kiri, dan kanan. Harapan beroleh tambahan penumpang sangat besar ketika mobilnya yang karatan mendekati gang demi gang. Jika ada orang berjalan keluar gang atau berdiri di ujung gang, ia akan menginjak rem dan menggerakkan telunjuknya ke belakang sebagai pengganti kalimat "Pasar?". Ia akan menarik napas dalam-dalam jika ternyata orang tersebut menggelengkan kepala, baru kemudian kembali ia melajukan mobilnya dengan kecepatan 30 km/jam. Untuk apa tancap gas? Uang yang akan didapatnya baru empat ribu. Makanya ia santai saja. Harapannya masih besar untuk mendapat penumpang di depan ruko-ruko ponsel yang berjejer tak putus di sepanjang jalan, sejauh mata memandang. 😐

Namun, Pak Sopir ini sedang tak mujur.  Semua orang yang berdiri di pinggir jalan, di depan ruko-ruko ponsel, mini market , ruku-ruko busana muslim, dan apotek-apotek hanya pemberi harapan palsu.  Mereka berdiri dan menggeleng ketika mobil karatan ini menepi.  Bahkan ada yang tidak beretika. Jangankan menggeleng, apalagi bersuara, memandang si sopir saja mereka tak sudi. Saya iba. Betul-betul sesak napas rasanya membayangkan jumlah rupiah yang tak seberapa, ditambah penatnya didera panas terik. Saya seperti diserang asma melihat kejerihannya. Apalah nanti kata sang istri di rumah seandainya tidak terbawa uang ala kadarnya untuk pembeli beras? Lauk-pauk bisa diganti dengan garam atau minyak goreng. Tapi beras? Di Jambi tidak biasa orang makan aking. 😩

Semakin dekat ke kantor, semakin saya khusyuk di dalam hati. Setelah saya turun beberapa saat lagi, semoga ada yang naik ke angkot biru karatannya ini. Sebentar lagi waktunya anak-anak pulang sekolah. Tidak semua anak-anak sekolah bersepeda motor apalagi bermobil, maka akan ada yang membutuhkan angkotnya. Semoga beliau bisa mendapat rupiah yang cukup, jika tidak bisa berlebih tentunya. Semoga saja. Setidaknya tangannya tidak hampa ketika bertemu istrinya nanti.

"Bagaimana mau dapat penumpang, Bu. Semuanya sudah bermotor. Tengoklah! Berapa ratus motor di situ? Belum lagi mobil-mobil yang parkir sepanjang jalan ini."keluhnya melihat ratusan motor yang diparkir rapi di atas tanah lapang di samping kantor saya.

Apa yang harus saya katakan? Kok ya tidak pas saja rasanya jika harus membesarkan hatinya dengan kalimat "rezeki sudah diatur sama yang di atas, Pak."

"Yang di atas mana, Bu?" Saya khawatir ia akan membalasnya begitu.

Yang di atas memang tidak  peduli dengan nasib Pak Sopir dan kaum senasib sepertinya, menurut hemat saya. Yang di atas terlalu sibuk berkalkulasi dengan keuntungan atas banyaknya pabrik industri kendaraan bermotor yang dibangun di tanah nan gemah ripah loh jinawi ini, yang bisa memproduksi ratusan mobil, apalagi motor. Izin berarti pundi-pundi. Penjualan motor per hari lebih menjanjikan daripada penjualan kacang rebus. 😥

"Payah nian lah sekarang, Bu. Ngabisin minyak mutar-mutar."keluhnya, masih dengan mata yang awas kiri dan kanan. Kalau-kalau ada penumpang.

"Kiri ya, Pak."

Tidak persis di depan gerbang kantor ia menginjak rem. Bukan masalah. Ia hanya ingin berhenti tepat di depan lorong di seberang jalan kantor saya. Mana tahu ada satu dua yang menepukinya untuk menunggu. Siapa tahu, karena Yang di Atas berbeda. Ia Maha Segala.

Comments

Popular posts from this blog

Dagangan Perdana

Ini sebenarnya postingan yang seharusnya diunggah 17 Januari. Unggahan tentang keberhasilannya menjalankan bakat kisprenerushipnya. "Sayang....gimana spagetinya?" "Alhamdulillah laris manis, Bun!" "Alhamdulillah...." "Trus,spageti untuk Bu Alha gimana?" "Maaf, Bun...untuk Bu Alha dibeli sama kawan Hamzah!" "Ooo...gitu...." "Iya! Bun...uang Hamzah banyak. 24 ribu. Tapi Hamzah pusing pas kawan-kawan rebutan." Bahagianya tak terkatakan. Ibunya lebih bahagia lagi. Pagi-pagi menyiapkan semua bahan untuk jualan perdananya. Anak lanang itu sendiri yang ingin mencoba berdagang. Beberapa hari kemarin bolak-balik bertanya apa kira-kira yang pas untuk dijualnya kepada teman-teman sekelasnya. Minuman atau makanan? "Jualan spageti aja gimana, Bun? Hamzah suka kesal soalnya tiap bawa spageti ke sekolah, teman-teman suka minta. Hamzah jadi dapatnya sedikit." Dari rasa kesalnya itulah ide ...

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Tentang Ibu (1)

Ada yang berubah dari Ibu.  Perubahan yang membahagiakan. Kerinduannya yang terobati pada tanah suci, Kabah, dan makam Rasulullah telah membuat Ibu kembali seperti tahun-tahun sebelum 2016.  Ibu kembali sehat. Lahir dan batin. Setelah hampir tiga minggu Ibu bersama kami, baru malam lusa kemarin saya lama bercengkerama di kamar beliau. Izzati belum mengantuk.  Jadi sengaja saya membawa cucu bungsunya itu bermain-main di tempat tidur beliau.  Sambil bermain dengan Izzati, saya bertanya tentang banyak hal mengenai kepergiannya ke tanah suci di awal 2017 kemarin. Ibu begitu bersemangat menceritakan pengalamannya.  Posisinya yang semula duduk, berganti menjadi berdiri.  Tangannya bergerak lincah memperjelas berbagai kegiatan yang dilakukannya di sana. Matanya berbinar-binar. Air mukanya berseri-seri. Tak terbayangkan skala kebahagiaan yang melingkupi hatinya ketika menjejaki Baitullah. Ibu kami memang sudah lama sekali ingin ke Kabah. Semasa almarhum Bapak...