Skip to main content

The Men in Those Places


blog.jobthread.com 


Minggu ini benar-benar penuh 'kejutan'.  Luar biasa!  BBM yang kembali naik, gas 12 kg yang juga naik Rp7000/tabung, tiket KRL ekonomi yang turut naik hampir 200%, kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat (yang baru saja dibatalkan...ehm..ditangguhkan), cium tangan sang menteriplus jamu sebagai satu langkah 'jitu' untuk memulai revolusi mental yang akan berefek domino.  Dan malam ini...di Kompas ketika saya membaca berita Hingga Pekan Ini, Sudah 7 Kader PDI-P dan Relawan Jokowi Komiaris BUMN, saya benar-benar tidak bisa untuk tidak bersedih.  Saya baca hati-hati hingga tuntas, walaupun dalam proses membaca tersebut, pada beberapa paragraf tengah, saya merasa heran dan tak paham plus bingung.  Pekan ini Kementerian BUMN menunjuk Roy E Maningkas yang notabene kader PDI-P dan anggota Barisan Relawan Jokowi Presiden serta Hilmar Farid, Ketua Panitia Simposium Seknas Jokowi, sebagai Komisaris PT Krakatau Steel Tbk.  Mereka adalah dua diantara lima orang pejabat lainnya yang merupakan loyalis Presiden yang akhirnya menduduki dewan komisaris pabrik baja terbesar di Indonesia.  Bingungnya saya adalah mengapa selalu orang-orang Presiden? Lupakah presiden kita dengan janjinya dulu? Umumnya pula latar belakang keilmuan para pejabat tersebut tidaklah sesuai bidang kerja yang menjadi tanggung jawab mereka.   Ada kader dengan latar belakang pengelola radio yang  menjadi komisaris bank pelat merah terbesar di negeri ini. Ada juga kader yang berprofesi sebagai sejarawan ditempatkan di kursi dewan komisaris pabrik baja.  Saya bingung!

Saya yang kemarin begitu kagum dengan salah seorang pakar Tata Negara yang masih muda dan terlihat berkarisma (tetapi saya sungguh tidak ngeh jika beliau adalah salah satu tim sukses pemenangan Sang Presiden) harus menelan ludah pertanda 'khawatir' ketika melihat namanya ada di antara tujuh nama lain yang menjadi komisaris BUMN.  Beliau ditunjuk sebagai komisaris utama perusahaan pengelola jalan tol terbesar di Indonesia, PT Jasa Marga. Bukankah akan bisa memberikan kontribusi yang luar biasa jika seorang ahli hukum tata negara diletakkan, misalnya, sebagai menteri hukum dan HAM.  Jika saja ahli tata negara ini ditempatkan sebagai orang nomor satu di Kemenkumham, mungkin tidak akan begini ramainya perseteruan pada partai hijau dan kuning yang terjadi baru-baru ini karena saya dan siapapun yang pernah melihat argumentasi dan teorinya dalam berbagai tayangan di televisi yakin bahwa ia adalah sosok yang mumpuni dalam bidang hukum.  Andai saja yang berlatarbelakang sebagai pengelola radio berkantor di Kementerian Komunikasi dan Informatika, tentu akan banyak yang bisa dilakukannya atau yang sejarawan diberdayakan di Kementerian Pendidikan Nasional, ia mungkin bisa meluruskan beberapa sejarah yang direkayasa karena kepentingan penguasa pada zamannya.  Anehnya lagi, konon wakil presiden belum tahu tentang menempatan salah satu komisaris baru ini.  Bingung sebingung-bingungnya saya!  Kok bisa?


Hanya Sukardi Rinakit, seorang pengamat politik dan penulis, yang menolak jabatan sebagai Komisaris Utama BTN, ia beralasan bahwa ia tidak memiliki kompetensi untuk menjalani tanggung jawab yang akan diberikan oleh Presiden.  Secara lugas di Tribunnews  beliau juga berkata "Sejak semula saya tidak bisa menerima posisi Komisaris Utama BTN, saya tidak mau menerima pekerjaan dengan kepala kosong".  Pada bagian ini, jujur...alis saya hampir bertaut.  Diam-diam saya salut.

Tetapi dalam diam-diam itu, setelah rampung saya baca berita di Kompas ini, saya menjadi cemas.  Mungkin bukan saya sendiri.  Saya yang tak mengerti politik, yang hanya menjadi pemerhati atau lebih tepatnya penonton aksi dan reaksi politik sebatas  apa yang saya lihat, dengar, dan baca dari berbagai media massa lalu menjadi komentator politik sebatas ruang keluarga dan ruang kerja saja, merasa gelisah sendiri dengan sepak terjang Tuan Presiden yang diberitakan di media massa seminggu belakangan ini.  Keawaman saya terhadap politik mungkin membuat saya susah (gagal) paham bagaimana ternyata sebenarnya balas budi itu menjadi hal wajib yang harus dilakukan di dalam politik terkait dengan kesuksesan pengusungan seseorang menjadi sang 'nomor satu'.   Jika sudah begitu, maka wajar saja jika apapun bisa dan siapapun juga bisa.  Ya...begitulah kira-kira....siapapun bisa untuk posisi apapun! Dan siapapun yang terlihat begitu ideal dengan sejuta kata-kata dan pendapat bijaknya dalam selaksa dialog yang mengetengahkan masalah negara di berbagai media, yang tadinya saya pikir akan tetap menjadi menjaga keidealannya dalam segala hal justru berganti cerita.  Mereka seperti joker dengan polesan banyak warna di wajah dan kostumnya.

 "The Right Man on the Right Place", bukankah seperti itu seharusnya sebuah jabatan diisi. Saya melawan lupa saya sendiri, saya yakin betul itu salah satu yang dulu selalu diserukan dalam berbagai kesempatan  sebelum menjadi Sang Presiden.

Apa yang diserukan dulu itu adalah janji. Janji adalah amanat yang harus ditepati. 

Berangkat dari itulah, setelah juga membaca berita ini...saya menjadi cemas, jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya.  Entahlah apa yang akan terjadi. 

Jika sudah begini...tanpa bermaksud membandingkan...saya menjadi rindu pada sosok Pak Habibie yang dengan ketegasannya tidak melibatkan orang-orang partainya pada kabinet pemerintahannya ketika beliau harus menggantikan Soeharto.  Bahkan dirinya sendiri melepaskan diri dari partainya, dan menjadi seutuhnya milik rakyat yang dipimpinnya.

Pun begitu, karena saya cinta negeri ini, saya akan terus berdoa dan berharap...semoga kecemasan saya yang sungguh beralasan ini tidak berujung pada apa yang saya takutkan. Semoga pemimpin negeri yang saya cintai ini dapat berbuat yang terbaik untuk rakyatnya, bukan untuk partai-partai pengusungnya serta loyalisnya.  Di atas semua itu, saya percaya bahwa tidak ada yang kebetulan bahkan untuk apa yang sedang terjadi saat ini. 

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di