Skip to main content

Surat Untuk Bang Lukman


  
Dear Abang,

Let me tell you the reason why I'll shake my head for salted eggs.

Duluuuu...jamannya masih jadi mahasiswa yang segar muda belia di Padang,sistamu ini paling suka wara-wiri ke banyak tempat pas weekend, apalagi kalo akhir pekannya menempatkan diri di tanggal tua.  Sukanya ikuuuut aja ma teman sekamar atau teman kos lain yang punya kampung halaman dalam kawasan Sumbar...ya itu tadi...namanya anak kost di penghujung bulan, harus pintar-pintarlah memanfaatkan pertemanan untuk survive, ya toch? Jadilah akhirnya sistamu ini paling sering ikut (kadang-kadang maksa ikut) teman sekamar pulang ke rumahnya di Batu Balantai, Candung, Ampek Angkek.  Sudah pernah ke sana, bro? Belum kan? Aaahh....jangan ngaku sudah ke Sumbar kalo belum merasakan dinginnya malam memelukmu hingga dalam selimut di salah satu bilik rumah bagonjong di kaki Marapi di Batu Balantai dan dibangunkan oleh keriuhan ciap anak ayam di bawah lantai bilik rumah bertanduk kerbau ketika matahari mengintip malu dari punggung Marapi.

Jamannya masih mahasiswa dulu, ketika suka nebeng pulang ke kampung orang pas malas balik ke kampung sendiri (durhaka ya...) kami akan menunggu dengan setia bus ANS menuju Bukittinggi.  Tidak perlu bersusah payah ke terminal karena memang ongkos ga cukup..hehe...! Begitu ANS keliatan hidungnya dari jauh...kami akan bersiap...dan ketika ANS sudah makin mendekat lalu berhenti persis di depan kami berdiri, melompatlah naik dan cari kursi kosong sendiri.  Mujurlah kami jika ada yang kosong karena biasanya susah dapatnya di akhir pekan pas penghujung bulan dimana seluruh anak kost akan kompak pulang ke haribaan orangtua mereka di kampung halaman masing-masing untuk mengambil jatah guna kelangsungan hidup untuk satu bulan ke depan. Jika sedang tak untung, maka berdesak-desakan di antara sekian banyak penumpang kost lainnya, dan setengah mampus berusaha menyeimbangkan tegak badan kala bus melaju kencang ketika batas Padang sudah terlewati.  Pfuuuihhh...perjuangan!

Nah...disinilah semua bermula.  Suatu ketika, di dalam ANS yang ditumpangi untuk kesekian kalinya, untungnya satu kali itu kami dapat kursi kosong, dan dapatlah kami duduk dengan tenang menikmati indahnya pemandangan mulai dari Lubuk Minturun hingga menjelang Padang Luar.  Memasuki daerah Lubuk Alung, akan banyak penjaja makanan khas yg akan menawarkan aneka rupa penggugah selera. Ada manggis muda yang di tusuk kayak sate (suegernyo puol lho kalo makan ini), pergedel jagung yang selalu hangat (coba tanya Ricky mengapa bisa selalu hangat), pinukuik aka pancake, dan telur asin.  Saat itu, penumpang yang berdiri di sebelah kursi sistamu ini  sedari Lubuk Buayo tadi membeli sebuah telur asin.  Sistamu ini kan paling suka tuh  memperhatikan semua hal termasuk penumpang, jadi dia tahu persis bahwa si uda itu tengah menikmati permen karetnya tak lama setelah ia naik dan berdiri di samping rekan kerjamu ini, Abang.  Wong saya liat kok dia ambil permen karet itu dari kantong celananya dan membuka bungkus permen tersebut lalu menikmatinya sedemikian rupa...karena perlahan tapi pasti dari yang tadinya berdiri di sebelah saya...eeehh...dia dengan sopannya keterusan duduk di tangan kursi yang saya duduki.  Pengen protes tapi kasihan...karena memang harus cerdik seperti itulah kalau menjadi penumpang yang tak dapat kursi dan tak pula dibenarkan membayar separo atau seperempatnya ongkos.  Rugi tapi tak berdaya memang.  Kemudian, saya pikir nih ya...ia akan membuang permen karetnya atau mungkin akan menyimpan telur asin itu untuk oleh-oleh buat bundonyo di kampung.  Lepas dari pasar Lubuk Alung, ANS kembali bergerak kencang.  Si uda membuka cangkang telur asinnya dan memakannya dengan begitu sigap tanpa membuang permen karetnya dan setelah itu ia terkantuk-kantuk sampai akhirnya tertidur dengan permen karet yang masih di mulutnya. Satu jam kemudian ia terbangun di Padang Panjang, dan kembali mengunyah.  Yayyyyy......permen karet rasa telur asin! Entah apa Halimah, teman sekamar saya di kosan, yang duduk di sebelah saya  masih ingat dengan ekspresi muka saya yang begitu takjub dan jijiknya saat itu.  Mual tak terperi, Abang! Sebenarnya tidak perlu dan sangat tidak penting saya bayangkan permen karet rasa telur asin itu.  Tapi dunno why sejak saat itu setiap kali melihat telur asin atau mendengar kata-kata telur asin saja...langsung wajah si uda itu terbayang komplit dengan mual dan merinding.  :(

Jadi begitulah perihal awal mulanya sistamu ini menjadi tak ingin berteman dengan telur asin.  Bukan salah telur asinnya, Abang.  Sistamu ini saja mungkin yang terlalu mendramatisir dan membuatnya menjadi lebay...tapi ya begitulah kenangan aneh di ANS itu seperti tak ingin keluar dari kepala.   Lalu nih ya...masih ada sedikit sambungannya...hehe....yang pernah diuntungkan dengan kondisi ini adalah Jeung Leni tercinta yang dengan penuh suka cita akan mengambil jatah telur asin saya pada saat sarapan di sebuah pelatihan yang kami ikuti.   Haha....paling tidak ada jugalah manfaatnya untuk teman dan yang pasti juga bukan telur asin rasa permen karet atau sebaliknya. Peace, Mbak Len.  :)

Kind Regards,

Ny. Junarso


Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di