Skip to main content

Suatu Ketika Nanti


Bumi benar berputar dan musim sungguh berganti.  Belum sampai setengah jam saya menonton Negeri 5 Menara, saya mulai galau sendiri, mata saya tanpa dipinta berkaca-kaca.  Terbayang suatu ketika nanti, jika umur panjang, Allah akan menyampaikan masanya dimana saya harus melepas Rio dan Hamzah pergi menjauh dari sisi saya untuk mencari takdirnya sendiri, dan kami tak mungkin bisa ikut serta, selain berdiri pada batas gerbang yang kami bangun dengan cinta dan didikan.   

Sebagai seorang ibu, saya sungguh tak ingin sedetik pun jauh dari buah hati yang saya besarkan dengan tangan saya, yang saya uruskan segala rupa kebutuhan mereka mulai dari kecil lagi.  Tetapi mungkin mimpi dan angan saya akan kehidupan mereka ke depan bisa jauh melampaui apa yang mereka sendiri impikan dan bayangkan.

Benar Khalil Gibran dengan bijak pernah berkata bahwa sesungguhnya anakmu bukanlah anakmu.  Anak-anakmu adalah darah dagingmu, nyawamu pun bahkan bisa kau berikan kepada mereka, tetapi mereka memiliki kehidupan sendiri.  Akan tiba nanti disuatu waktu mereka mungkin akan berdiri pada posisi yang berbeda dengan mu, tak sepaham, tak sependapat, tak sejalur dengan apa yang menjadi pandanganmu tentang hidup dan apa saja.  Mereka akan hidup pada zaman mereka yang jauh bedanya dengan zaman orangtuanya.

Seperti kemarin malam, ketika mendampingi Rio belajar, saya pandangi wajahnya.  Di atas bibirnya mulai membayang rambut-rambut halus yang nanti akan menjelma menjadi kumis tipis.  Anak saya akan menjadi seorang bujang kecil.  Pasti waktu akan kian kencang mengubahnya menjadi seorang pemuda gagah.  Lalu kurang dari 7 tahun lagi, mungkin nanti, seperti emak Alif pada Negeri 5 Menara, saya mungkin juga akan memaku dinding rumah dan menggantung foto mereka diapit Bung Hatta dan Buya Hamka.  Namun,  melepas buah hati saya menjauh, mengejar mimpinya dengan caranya sendiri, bisakah saya tak mengusap linangan di pipi saya, layaknya karakter yang diperankan Lulu Tobing itu? Mungkin memang tak seharusnya saya gundah, karena dengan nama mereka dalam setiap untaian doa selepas sujud saya, Allah akan selalu ada untuk mereka.  Adakah yang lebih hebat dari-Nya sebagai penjaga dan pengawas?

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di