Skip to main content

MORAL MANUSIA INDONESIA

(Sarlito W. Sarwono)

Tiada bayi yang lahir sudah bermoral. Karena itu wajar kalau anak sampai umur tiga atau empat tahun berbuat suka-suka dia sendiri. Ia bisa bermain sama teman-teman seusianya sambil berlari-larian dan menjerit-jerit tanpa peduli ada mbahnya yang sakit, atau tetangga yang kebisingan. Baru sesudah orangtuanya marah, dia berhenti. Jadi dia berbuat baik (tidak menganggu orang) karena takut dimarahi mamanya, takut kena hukuman. Atau bisa juga karena mamanya mengiming-imingi permen atau mainan. Jadi anak menurut karena mencari hadiah. Psikolog Lawrence Kohlberg (1927-1967) menyebut perilaku anak yang seperti itu sebagai tahap paling awal dari perkembangan moral, yang dinamakannya tahap “taat karena ganjaran (reward) atau hukuman (punishment).
Ketika anak itu lebih besar, sekitar enam sampai sepuluh tahun, dia tidak menunggu dimarahi atau diiming-imingi hadiah, melainkan sudah menilai situasi yang menguntungkan atau merugikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, ia tidak mau mengambil kue pisang di meja, karena ia tahu pisang itu punya ayahnya, dan kalau ia nekad makan kue itu pasti dia kena marah mamanya. Kedua tahap perkembangan moral ini disebut oleh Kohlberg sebagai tahap perkembangan moral tingkat pertama (TPM 1) yang dinamakannya tahap Prakonvensional, yang lazim ditemukan pada anak-anak.
Ketika anak sudah beranjak remaja, maka dia masuk ke TPM 2, yaitu tahap Konvensional, yang terbagi lagi menjadi dua sub-tahap perkembangan moral, yaitu sub-tahap Konformitas dan sub-tahap Tegakkan aturan. Dalam sub-tahap Konformitas anak berusaha menjadi anak yang baik, soleh/solehah, tidak menyusahkan orangtua, tidak meresahkan masyarakat dll. Pada sub-tahap Tegakkan aturan, dia berusaha untuk mengendalikan lingkungannya agar selalu tertib, aman dan terkendali. Ia mengingatkan teman-temannya yang berisik, dan memungut kulit pisang yang tercecer agar tidak menyebabkan orang lain jatuh.
Pada usia dewasa, sampailah orang itu pada TPM 3, yaitu TPM tertinggi yang dinamakan TPM pasca-konvensional, yang juga terbagi dalam dua sub-tahap. Kedua sub-tahap terakhir itu adalah sub-tahap Kontrak Sosial, dan sub-tahap Etika Universal. Ciri dari TPM 3 adalah sangat memperhatikan kepentingan orang lain, dan mengalahkan kepentingan diri sendiri. Orang yang sudah mencapai sub-tahap Kontrak sosial, misalnya, selalu menepati janjinya sendiri. Untuk dia, janji adalah hutang. Dia tidak mau orang lain menunggunya, lebih baik dia menunggu orang lain, maka dia selalu datang lebih awal di tempat perjanjian. Pada sub-tahap yang tertinggi, Etika universal, bahkan ia sudah tidak lagi memandang manusia berdasarkan ras, jenis kelamin, golongan, politik, kelas sosial atau agama. Semua manusia sama saja di matanya, karena itu kebaikan harus diberlakkannya pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
***
Tetapi teori Kohlberg itu didasarkannya pada penelitian di Barat sana, khususnya di Amerika. Di Indonesia, teori itu terhambat oleh do’a orang-orang tua sendiri sejak anak masih dalam kandungan sampai anak itu berulang tahun ketujuh belas yang bunyinya selalu seperti ini, “... mudah-mudahan anak ini menjadi anak yang taat dan berbakti pada orangtua dan menjadi anak yang soleh dan solehah. Amin, amin, amin (tiga kali), ya Robbil Alamin). Kalau mengacu ke teorinya Kohlberg, do’a orangtua Indonesia hanya berhenti pada TPM 1 Prakonvensional (anak nurut sama orangtua) dan TPM 2 Konvensional, khususnya sub-tahap Konformitas (orang baik-baik). Hampir tidak ada do’a orangtua agar anaknya lebih mementingkan orang lain, ikhlas melakukan sesuatu demi keperluan orang banyak, tidak senang melihat orang susah, dan ikut gembira melihat orang senang. Itulah sifat-sifat khas TPM 3 Pascakonvensional.
Maka bisa dimengerti mengapa orang Jakarta tetap saja menyerobot jalur bus-way, karena hal itu tidak menyebabkannya menjadi anak yang tidak taat pada orangtua (orangtuanya pun naik motor melawan arus) dan tidak menjadikannya anak yang tidak soleh atau solihah. Mereka baru taat kalau ada polisi. Sangat tipikal TPM 1. Bisa dimengerti juga mengapa masjid-masjid selalu penuh setiap Jumat (menunjukkan mentalitas orang baik-baik), tetapi tawuran dan membajak bus kota tetap jalan.
Para pemimpin pun TPM-nya tidak jauh-jauh dari TPM masyarakat biasa. Korupsi buat pemimpin tidak melanggar do’a orang tua, bahkan bisa menyejahterakan keluarga dan kerabat. Buat pemimpin yang rata-rata belum masuk ke TPM 3 walaupun sudah punya cucu, moralitas mendahulukan kepentingan orang lain, apalagi memandang sesama manusia sebagai sesama, tidak menjadi pedomannya. Calon Kepala Daerah janji-janji waktu kampanye, tetapi dia lupa pada janjinya ketika sudah terpilih, ya tidak apa-apa. Kalau ada konflik antar kelompok, pemimpin tidak mencoba mengatasi konflik dengan memperhatikan kepentingan bersama (termasuk kelompok minoritas), melainkan membela salah satu kelompok agar dipandang sebagai pemipin yang populis. Itu namanya mencari konformitas, bukan menegakkan moralitas. Sidang DPR paripurna perdana pasca-reses, Senin yang lalu (18 Nopember) hanya dihadiri sekitar 60-an anggota dari lebih dari 500-an anggota. Itupun konformitas (semuanya juga begitu, kok), bukan moralitas (biar yang lain begitu, saya tetap begini).
Jadi demi mendapat anggota DPR dan Presiden yang punya moral tinggi untuk 20 tahun mendatang (sudah terlambat untuk 2014), sudah saatnya kita mengubah doa orangrua. Tambahlah doa kita agar anak menjadi orang yang amanah, mendahulukan kepentingan orang lain, demi kemashlatan bersama, kesejahteraan dan perdamaian umat sedunia. Amin (sekali saja cukup, karena Allah tidak tuli).

Jakarta, 21 Nopember 2013

Koran SINDO, 24 Nopember 2013

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di