Skip to main content

Lesung Batu, Tempayan, dan Tungku


Lesung batu dan tempayan air yang diunduh di media sosial Bang Lukman mendulang rindu saya pada nenek, sosok kecil cekatan segala bisa yang ketika beliau ada, segala rupa perkakas begitu tertata apik tanpa debu, meja makan pada tiga waktu berbeda dalam sehari selalu menjadi tempat berkumpul yang menjanjikan kehangatan dan 'kesibukan' yang ngangenin karena disana selalu ada berbagai hidangan yang menerbitkan rasa.


Biasanya, di dalam bulan puasa, di awalnya, lesung batu dan alunya menjadi pusat perhatian para cucu beliau.  Tidak akan menjadi pusat perhatian di bulan-bulan lain, karena jarang digunakan.  Menjelang Syawal lah sepasang alat tradisional itu giat dipakai untuk menumbuk beras yang akan ditepungkan untuk selanjutnya disulapnya menjadi berbagai ragam kue-kue khas lebaran yang nantinya akan tersusun rapi di dalam gelok klasik dengan tutup dilapisi kertas minyak warna-warni.  Talu lesung dan alu yang berirama teratur menjadi nyanyian tersendiri pada Ramadhan masa lalu, masa dimana jari-jari mungil dari enam pasang tangan-tangan kecil para cucu bergantian berebut memasukkan remah-remah beras setengah kering yang ada di pinggiran lesung batu kembali ke dalam cekungannya. Suara khas Ramadhan itu, di dekat pintu dapur, selalu menarik minat ketiga cucu kecil beliau untuk duduk manis mengelilingi lesung batunya. 


Tempayan air berwarna kehijauan itu juga sama.  Persis sama! Warna dan rupanya. Tempayan itu sepertinya terbuat dari semen.  Agaknya memang seperti itu jamaknya orang-orang dulu memiliki tempat penyimpanan air ketika sumber air minum bergantung pada tenaga tangan yang harus menarik timba atau menggereknya melalui katrol yang berisik. Tempayan kenangan.  Entah dimana sekarang.


Dan tungku? Siapa yang menolak percaya jika memasak dengan tungku kayu api tidak akan pernah memberikan rasa yang sama lezatnya dengan apa yang dimasak di atas kompor minyak tanah, kompor gas, atau kompor listrik sekali pun (dengan catatan yang memasak orang yang sama dan menggunakan bahan yang sama lho yaaa....). Bahkan air minum yang dijerang di atas tungku pun akan terasa berbeda kenikmatannya dengan air minum yang dimasak di kompor apa pun.  'Ai song asok' begitu dulu nenek menyebut air minum yang dijerangnya di tungku.  Beliau amat sangat menyukainya.  Bahkan menantu bungsunya pun menyukai hal yang sama. Jika air saja bisa begitu rupa nikmatnya, maka bayangkan rendang, kalio ayam, gulai jengkol atau panggang gurami yang masak di atas api tungku. Berkali lipat kelezatannya.

Lesung batu, tempayan, dan tungku....those three 'little' things pull me back to my childhood happy memories.

(foto-foto dari old and useful  Lukman Tanjung)

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.