Skip to main content

Anak-Anak Itu

Pemandangan  pagi ini di depan mata sungguh tidak indah.  Benar-benar tidak enak untuk dilihat.  Seorang anak SMA duduk di kursi di seberang saya. Sendiri. Duduknya masih sama tidak sopannya seperti kemarin-kemarin saya melihatnya.  Kedua kakinya dinaikkan ke bangku panjang yang didudukinya, satu kaki ditekuknya agak tinggi, menahan tangannya yang memegang rokok. Sudah lumayan sering saya bertemu dengan pemuda tanggung ini.  Tidak ada beda. Wajahnya kusam, jerawatan, pakaiannya sama kusamnya dengan wajahnya yang entah tersentuh air atau tidak pagi ini, bibirnya kering dan dengan pongahnya bergaya seperti seorang perokok profesional yang sedang menikmati rokok pertamanya di pagi itu.  Saya benci melihat bibirnya yang hitam mengeluarkan asap rokok, digerakkannya ke kiri dan ke kanan, memainkan asap rokok yang perlahan terbang bebas mencemari udara pagi yang seharusnya segar di warung tempat saya dan sahabat saya biasa memesan sarapan hangat kami.  Yang bikin saya menggelengkan kepala tanda keprihatinan saya padanya adalah bukan semata karena penampakannya yang tidak segar alias kucel di pagi yang indah ini, tetapi penampilannya itu diperparah dengan apa yang keluar dari bibirnya.  Bukan cuma asap rokok, tetapi kata-kata yang bukan main tidak sedap untuk didengar.  Sembari menghisap rokok yang dibelinya batangan, ia terlibat percakapan seru dengan si pemilik warung.  Tentang bagaimana ia ditangkap polisi karena mungkin masalah SIM atau apalah...lalu dengan kosa kata terbatas dan tidak santun serta intonasi yang menunjukkan kesombongannya ia mengatakan bagaimana tak berdayanya polisi itu akhirnya karena dengan mudah ia bisa lepas setelah diurus oleh salah satu anggota keluarganya yang ternyata berpangkat lebih tinggi dari polisi yang menjaringnya.  Usai bercerita, kembali ia menghisap rokoknya yang tinggal setengah dan menghembuskan asapnya dengan bibir yang dimonyongkan ke kiri dan ke kanan.  Saya beristighfar di dalam hati sembari berdoa "Tuhan, kembalikan ia ke jalan yang benar".

Itu baru masalah sekitar wajahnya.  Belum tentang pakaiannya.  Celana panjang coklat yang dikenakannya jelas bukan celana dengan model layaknya seragam anak sekolah tingkat SLTA.  Celana tersebut telah dijahit ulang dengan model kecil menyempit ke bawah. Pernah suatu kali saya mendengar ia minta kantong plastik hitam kepada pemilik warung untuk memasang kembali celana panjangnya begitu selesai urusannya di kamar kecil.  Saat itu saya jadi menggumam "Apa pentingnya sih dia modif celananya itu menjadi seperti model kaki belalang gitu?".  Panjang celananya pun tidak ideal.  Mata kakinya bisa terlihat jelas karena tidak sempurna tertutup celana panjangnya, juga kaus kakinya.  Bingung kan? Saya yang melihat lebih bingung lagi.  Kaus kaki yang layaknya menutupi mata kakinya itu malah dengan tidak indahnya melar kemana-mana.  Pokoknya berantakan sekali.  Kemudian bajunya.  Baju yang dipakai dari putih telah berubah menjadi warna hampir kuning.  Okelah...mungkin masalah warna, tidak begitu penting, karena yang namanya warna putih kan memang rentan berubah jadi berbagai warna setelah dipakai beberapa kali dan dicuci beberapa kali juga tanpa pemutih.  Yang menjadi aneh untuk dipandang adalah lengan kemeja sekolah yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi lebih pendek.  Jadinya anak-anak SMA itu seperti memakai kemeja kekecilan atau kemeja pinjaman.  Parahnya lagi...kemeja itu tidak dimasukkan ke dalam celana, tetapi dengan sengaja dikeluarkan bagian bawahnya.  Lengkaplah!

Mengapa saya katakan 'lengkap'? Karena dengan kemeja 'aneh' dan juga celana yang sama 'anehnya' plus wajah butek, cara dan isi pembicaraan yang 'kasar', dan merokok pula....maka lengkaplah mereka bak preman terminal yang sering saya lihat malakin sopir-sopir angkot.  Mungkin, preman-preman tersebut jauh lebih terdidik dari segi berpakaian dan berkomunikasi.  Karena banyak yang saya temui, mereka meminta 'jatah' kepada sopir-sopir angkot yang kebetulan sedang saya tumpangi dengan cara yang bisa dikatakan sopan.

Saya pernah duduk di bangku SMA, saya juga banyak bergaul dengan teman-teman cowok...ada yang baik dan yang 'nakal'.  Entah zaman yang telah berubah, atau memang media yang membuat anak-anak sekolah menjadi 'aneh', atau entah juga pelajaran di sekolah yang miskin nilai dewasa ini, saya melihat begitu kontrasnya perbedaan anak-anak sekolah di zaman saya dan anak-anak sekolah di zaman sekarang.

Saya hanya berpikir, seharusnya sekolah, orangtua, dan lingkungan sekitar selayaknya bersinergi untuk membentuk anak-anak tersebut menjadi anak-anak sekolah yang betul-betul 100% anak sekolah.  Termasuk di dalamnya pemerintah selaku pemegang kebijakan dalam pembuatan kurikulum di semua tingkatan sekolah.  Saya pikir, sedikit banyaknya anak-anak yang saya temui membolos di saat jam pelajaran pagi itu tentunya ada kaitannya dengan ketidaknyamanan mereka mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung.  Akan panjang memang jadinya jika membahas ini.  Tetapi di dalam hati kecil saya tidak rela melihat mereka seperti itu.  Mereka hanya tidak mengerti saja, bahwa apa yang mereka lakukan itu sesungguhnya hanya akan menjadi bumerang untuk mereka sendiri.

(Catatan yang tertunda karena rapat 'riuh' hari Jum'at kemarin.)

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di