Hei....salju 2012 sudah turun di Eropa, di Nijmegen, di Belanda. Alam dalam sekejap mengisahkan hitam, putih, abu-abu, dominasi coat gelap yang disangga boot kulit hangat, sepasang sarung tangan ketat, syal dan leher yang tak terpisahkan, serta cupluk wol.
Tetapi di sini, di dalam hati ini, salju itu mengirimkan kehangatannya. Putihnya yang bersih dingin justru memberikan kenyamanan yang tak terperikan, mengalirkan kerinduan yang siap saja menggulingkan lelehan kristal cair dari ujung kedua mata. Salju. Sahabat. Rindu.
Dari jendela berkerai biru tua, memandang tak jauh ke jalan, tengah malam buta menikmati salju yang perlahan menutupi aspal berwarna jelaga, yang berpendar berkilau dimainkan cahaya kemilau lampu mercuri yang bergoyang anggun.
Lewat kaca besar di teras dapur, sama nanarnya pandangan pada hamparan putih di loteng Aldi. Dan disini, tertawa sendiri, dulu...ada riuh di atasnya, menyambut salju pertama setelah sekian lama melamunkannya dalam mimpi. Kamera, gundukan putih setinggi caping, gaya, semuanya. Suka.
Dulu juga...dua tahun lalu....salju pernah mengenalkan badainya....tertahan di sebuah stasiun kereta menuju selatan. Menakutkan. Tetapi tak berarti ketika kereta terseok tiba di stasiun terakhir dan tiga senyum sumringah tetap menunggu dengan setia. Membawa serta rangkulan. Mengambil alih ransel di pundak. Mengangsurkan sebuah coffee latte panas. Menggandeng lengan untuk segera menyatu dalam kehangatan yang bahkan salju pun tak kan melekangkannya.
Putihnya pun mengundang hingga ke Zurich. Mencecap rasa yang tak sama pada satu daratan yang melanunkan nyanyian kepak camar di pinggiran danau Zurich menjelang senja. Mengenyangkan mata dengan hijau atap tiga gereja di kota tua yang dibelah riak sungai Limmat. Mengikuti derap langkah gegas pasangan kaki ke Hauptbahnhof. Sampai juga. Pada salju yang menutupi tebing-tebing cadas abu-abu yang membentengi Zurich di lembahnya.
Kenangan itu.
(Mengenang semua: Willemsweg, Utrecht, Wageningen, Rotterdam, Maastricht, Amsterdam, Volendam, Heerlen, Den Bosch, Zurich)
Tetapi di sini, di dalam hati ini, salju itu mengirimkan kehangatannya. Putihnya yang bersih dingin justru memberikan kenyamanan yang tak terperikan, mengalirkan kerinduan yang siap saja menggulingkan lelehan kristal cair dari ujung kedua mata. Salju. Sahabat. Rindu.
Dari jendela berkerai biru tua, memandang tak jauh ke jalan, tengah malam buta menikmati salju yang perlahan menutupi aspal berwarna jelaga, yang berpendar berkilau dimainkan cahaya kemilau lampu mercuri yang bergoyang anggun.
Lewat kaca besar di teras dapur, sama nanarnya pandangan pada hamparan putih di loteng Aldi. Dan disini, tertawa sendiri, dulu...ada riuh di atasnya, menyambut salju pertama setelah sekian lama melamunkannya dalam mimpi. Kamera, gundukan putih setinggi caping, gaya, semuanya. Suka.
Dulu juga...dua tahun lalu....salju pernah mengenalkan badainya....tertahan di sebuah stasiun kereta menuju selatan. Menakutkan. Tetapi tak berarti ketika kereta terseok tiba di stasiun terakhir dan tiga senyum sumringah tetap menunggu dengan setia. Membawa serta rangkulan. Mengambil alih ransel di pundak. Mengangsurkan sebuah coffee latte panas. Menggandeng lengan untuk segera menyatu dalam kehangatan yang bahkan salju pun tak kan melekangkannya.
Putihnya pun mengundang hingga ke Zurich. Mencecap rasa yang tak sama pada satu daratan yang melanunkan nyanyian kepak camar di pinggiran danau Zurich menjelang senja. Mengenyangkan mata dengan hijau atap tiga gereja di kota tua yang dibelah riak sungai Limmat. Mengikuti derap langkah gegas pasangan kaki ke Hauptbahnhof. Sampai juga. Pada salju yang menutupi tebing-tebing cadas abu-abu yang membentengi Zurich di lembahnya.
Kenangan itu.
(Mengenang semua: Willemsweg, Utrecht, Wageningen, Rotterdam, Maastricht, Amsterdam, Volendam, Heerlen, Den Bosch, Zurich)
Comments
Post a Comment