Skip to main content

Kabar Duka dari Ana

Apa ini yang namanya telapati?

Pukul 10.40 WIB hari ini entah mengapa saya mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Ana, sahabat saya di Pidie, Aceh.  Hanya sebuah pesan yang benar-benar singkat.  I miss u, Ana.  Sebuah tulisan berjudul Republik Indonesia Kilometer Nol di blog Andreas Harsono mengingatkan saya pada janji Ana, jika suatu saat nanti ada salah satu di antara kami teman-temannya sampai di kampung halamannya, maka ia akan membawa kami ke Sabang, tempat dimana kilometer nol negeri ini berada. 

Tetapi balasan pesan singkat itu sungguh tidak saya harapkan.  Pukul 13.25 Ana membalas pesan singkat saya 'Innalilahi wa inna ilaihi raji'un.  Sa, mamak dah meninggal td jam 7 di rs'.  Apa yang bisa saya katakan?  Yang hadir di kepala saya hanya kelebatan bayangan tentang cerita-cerita ana mengenai mamaknya waktu kami di negeri orang.  Dan juga usahanya untuk menabung demi menunaikan cita-cita maha indah sang bunda yang ingin menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Semoga Allah memberikan kekuatan dan ketabahan kepada Ana dan keluarganya.  Semoga amarhumah diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.  Amin.

 Love you, Na.

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di