Skip to main content

Sampai Jumpa, Angga




Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu.

Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya. 

"Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya. 

"Iya. Uni tunggu, ya."

"Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara.

Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74. 

"Uni, bisakan kami nginap di rumah uni kalau pulang nanti? Bersempit-sempit ga papa, Ni?"

"Aman..! Tak ada masalah asalkan hati kita lapang!"

Jempolnya mengudara dua. Maminya semringah. Kami mulai mereka-reka rencana bahagia berkumpul lagi bersama seperti tiga tahun lalu. Jika memungkinkan, malah ingin kubuat rencana untuk turut serta konvoi bersama pulang ke tanah asal nenek dan datuk kami dilahirkan meskipun rumah gadang telah lama dirobohkan.

Seminggu kemudian, 3 Juni menjelang Asar, ia pulang ke penciptanya.

"Ilsa, adikmu sudah duluan pulang..."suara maminya antara terdengar dan tidak. Isaknya pecah di seberang sana. 

Seketika telingaku penuh dengan celoteh dan tawanya. Rautnya tegas tersenyum di ruang mata. Rangkulannya terasa masih mengguncang bahu. Bahkan aku kembali ingat pada sepasang sandal jepit bata yang kusodorkan padanya bakda subuh menjelang keberangkatan mereka ke Padang tiga tahun lalu di halaman rumah Jatra. Sepasang bata merah itu akan membuatnya nyaman di sepanjang perjalanan. Ia tak harus bersepatu. Tak lekang juga di kepalaku candaannya di sepanjang tol ke Sidoarjo di dalam Livinanya pada 2015.  

Ia memang pulang, namun bukan rumah Jatra kami di Jambi. 

Ia telah pulang pada keabadian.

Sampai jumpa, Angga. 

Usahlah uni deretkan kata untuk melukiskan duka atas kepulanganmu. Biarlah kami sibuk sendiri mengemas duka, melatih membesarkan hati atas ketetapan-Nya, mendoakanmu dalam setiap sembahyang, dan mendoakan semoga Allah menguatkan Mami, Di, Mas Pep, Haidar, Panda, dan si bungsu Adit.

Tunai sudah baktimu pada Mami dan saudara-saudaramu. Cintamu pada Fi yang tak terperi dalamnya itu telah kau bawa serta.  Rezekimu telah dicukupi-Nya. Kami terima apa yang telah ditetapkan-Nya. Bukankah Ia Maha Segala? Tak ada yang perlu kami ragukan. 

Hanya saja, kami memang harus mereka-reka rencana yang tak lagi sama. Kami harus merencanakan bekal pulang yang lebih pasti.

P.S. Uni yang merinduimu selalu. 

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.