Skip to main content

Kibbeling

Apa daya? Gimana caranya? Pagi-pagi buta teringat kibbeling. Aroma amisnya yang khas lezat terasa sampai ke dalam hidung. Mimpi kah? Atau ngigau?

Kibbeling...kibbeling...kibbeling...!

Bener-bener lagi pengen makan kibbeling. Bukan buatan sendiri, melainkan yang persis sama dengan yang dulu rutin dimakan pas hari pekan di centrum. Gimana caranya, kawan? Andai bisa dikirim bekunya. Tapi kalo beku kan bukan kibbeling lagi namanya. Secara kibbeling itu camilan berupa irisan ikan (berbagai jenis ikan makanan laut) segar yang dicelupkan ke dalam adonan khusus dan kemudian digoreng langsung ditempat.

Aahhh...saya membayangkan aroma kerang atau udang atau fillet ikan pesanan saya yang sedang digoreng oleh seorang pemuda Belanda gagah, si penjual Kibbeling langganan saya dan teman-teman dulu. Biasanya kami akan berdiri beberapa saat di depan deretan ikan-ikan segar yang berderet di dalam lemari kaca yang dijual dengan menggunakan mobil van khusus dengan satu sisi dinding yang bisa dibuka dan ditutup. Sekilas mobil ini mirip karavan. Seperti anak kecil yang kebingungan memilih mainan, kami berpikir-pikir, menimbang-nimbang, sebelum akhirnya memutuskan jenis ikan apa yang akan kami lahap 10 menit ke depan dengan meluruskan telunjuk ke kaca bening, persis ke arah ikan yang kami inginkan. Biasanya lee dan saya akan memilih kerang, mbak dian akan memilih udang, ana memutuskan pilih ikan, dan mbak tati juga kerang (kalo ga salah). Selama pesanan dalam proses penggorengan, kami bergegas membeli air mineral di gerai yang tak berapa jauhnya dari mobil yang menjual kibbeling tersebut. Saya masih ingat, saya biasa membeli air mineral itu pada gerai minuman yang dijual oleh seorang ibu berwajah meksiko.

Tak berapa lama menunggu, pesanan selesai digoreng. Dengan sedikit menjijitkan kaki masing-masing kami akan mengambil kibbeling yang diletakkan di dalam wadah coklat tua yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama dengan cekungan lebih besar untuk kibbeling panas mengundang selera dan bagian lain dengan cekungan lebih kecil untuk saus bawang putih atau remoulade sebagai cocolan kibbeling. Remuolade berwarna putih hampir-hampir mirip mayones. Terkadang irisan bawang putih bisa diganti dengan irisan bawang bombay.
Setelah sekian seringnya kami menyantap kibbeling tiap ke centrum, tak pernah ingin sekali pun mencoba untuk melahap ikan haring seperti yang jamak dilakukan oleh warga asli Belanda. Tidak pernah punya nyali yang cukup seperti Elen, Billy, Evan, Charly, dan Mayang yang bisa dengan begitu santainya memegang ekor ikan haring mentah itu, mendongakkan kepala mereka dengan mulut terbuka, dan melahap ikan haring yang telah dicocol dengan cacahan bawang bombay. Mereka melahapnya dengan kenikmatan yang sangat. Saya yang melihat bergidik sendiri.

Pertanyaan saya selalu sama setiap kali melihat aksi mereka..."Amis kan? iihhh....."

Tetapi mereka menggeleng.

Ihh...!

Akhirnya pernah juga saya coba sekali. Semata tak ingin kehilangan satu hal yang memang khas londo. Mumpung masih di Blanda. Coba aja!
Hasilnya? Saya pejamkan mata ketika ikan mentah itu saya masukkan ke dalam mulut dengan kepala yang sama mendongaknya seperti yang lain ketika memakan ikan haring.

Lalu?

Hmmmm.....ja...ja. Ternyata rasanya memang tidak se'wild' yang saya pikir. Ikan dengan badan keperakan itu lumayan gurih di dalam mulut, saya rasa cacahan bawang bombay yang telah melumuri badan si haring kecil itulah yang membuat amisnya tak begitu kentara di dalam mulut. Si bombay menjadi penetralisir agaknya.

Lekker juga ternyata!

Cukup sekali saya mencobanya. Tidak punya keinginan untuk mencoba lagi. Karena saya lebih memilih kibbeling yang gurih dengan aroma bumbu khas gorengnya.

Kibbeling, pleaseeee....... T_T

# # #

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di