Jika selama ini saya hanya melihat penderitaan para penderita kanker dan keluarga mereka melalui layar kaca, membaca curahan hati mereka di majalah, tabloid, internet, atau surat kabar, maka hari ini menjadi nyata di mata saya dengan berada di dalam sebuah ruangan bersama seorang penderita kanker dan keluarganya.
Memilukan.
Suram.
Mengiris hati.
Itu yang saya rasakan siang tadi. Kaki saya tiba-tiba saja kehilangan tenaga untuk berdiri lebih dekat dengannya. Saya lebih memilih duduk di karpet bersama beberapa ibu-ibu penjenguk lain yang khusyuk membaca Surah Yasin.
Mata saya tak lepas mengamati sang ayah yang menguatkan diri untuk berdiri sambil menggenggam tangan si buah hati yang berusaha keras bernafas dengan bantuan selang oksigen yang dimasukkan ke dalam hidung mancungnya, matanya hanya terbuka setengah. Sesekali sang ayah mengelap keringat yang membutir di dahi, pelipis, dan mengalir ke leher jagoannya itu dengan selembar tisu. Setelah itu ia membungkuk, mendekatkan mulutnya ke telinga si buah hati, membisikkan sesuatu, mungkin talkin, atau semangat atau apa saja yang bisa menguatkan mereka berdua. Saya benar-benar tak bisa berkata-kata. Saya tak kuat hati melihat sang ayah membelai kepala plontos jagoannya yang tak memberi respon apa-apa ketika namanya dipanggil lembut.
Sementara sang bunda dengan lemas duduk bergabung bersama ibu-ibu lain yang membaca ayat-ayat suci Al Qur'an. Mungkin ia sedang merecharge kembali hati dan jiwanya menghadapi apapun kenyataan pada detik, menit, dan jam-jam ke depan. Matanya tanpa ekspresi. Air matanya bergulir begitu saja tak terkendali di pipinya yang putih. Bibirnya pun terkunci. Sesekali ia berhenti membaca, beralih memandang belahan jiwa dan buah hatinya yang berjarak dua meter di depannya. Matanya dan mata suaminya seperti berbicara. Saya mengerti, di dalam situasi tersulit seperti yang mereka hadapi saat ini, terkadang bahasa tubuh akan jauh lebih bermakna.
Mencekam.
Tim medis datang. Memeriksa kembali kondisi anak mereka, memberikan suntikan di lengan kanannya, memastikan denyut nadinya, menghitung frekuensi nafasnya di atas dada yang turun naik kesusahan memompa udara, terdiam sejenak, berbicara dengan sesama rekan sejawat, dan akhirnya memutuskan untuk menaikkan kecepatan pompa oksigen, mengganti selang oksigen, terakhir sebelum keluar ruangan seorang dokter mencoba memanggil-manggil nama pasien sambil mengguncang-guncang bahunya. Tidak ada reaksi. Nafas dokter itu tertahan sebentar. Memandang ayah si anak agak lama dan berkata "Kita ganti selang oksigennya ya, Pak". Hanya itu.
Saya tertunduk. Saya tahu bahwa dokter itu pun tak sanggup lagi berkata-kata.
Tak lama setelah dokter dan tim medis lainnya keluar ruangan. Sang bunda tiba-tiba berdiri. Berjalan pasti dengan langkah agak cepat menuju suami dan buah hatinya. Mereka berdua bicara pelan, nyaris tak terdengar. Lalu ia membungkuk dan mengecup kening jagoan mereka. Membisikkan sesuatu berulang kali di telinganya. Air mata perempuan tegar itu jatuh menetes di pipi cekung pucat si buah hati. Sang ayah mengusap-usap punggung istrinya itu dengan pelan. Air matanya pun tak tertahan. Pertahanannya bobol. Mereka, suami istri itu tenggelam dalam isak. Semua yang ada makin terpekur. Menyembunyikan wajah sedalam-dalamnya dengan tundukan.
Lima belas menit kemudian saya lihat sang bunda meraih telefon genggamnya dan berbicara dengan sedu sedan mengabarkan kepada beberapa kerabatnya tentang kondisi anaknya yang kritis. Ia kelihatan sebisanya menguatkan hatinya sendiri. Ia mungkin tadi telah berbicara dengan cintanya kepada sang buah hati bahwa ia rela jika memang si buah hati tak lagi kuat dan ingin lepas dari segala sakitnya dengan memenuhi panggilan pencipta-Nya. Mungkin juga dengan kasihnya, ia dengan tulus mengikhlaskan apapun keputusan Tuhan yang akan digariskan pada tiap guliran waktu yang berjalan ke depan. Ia dengan segala rasa penyayangnya sebagai seorang ibu mungkin memang harus berdamai dengan kanker tulang ganas yang telah mengambil kaki kiri anaknya yang masih belia itu dan kini tengah menggerogoti lebih dari separo paru-paru si sulung tersebut.
Dan kali ini saya benar-benar tak mampu membendung air mata saya.
Telinga saya jelas mendengar sang anak mengikuti talkin yang dibisikkan sang ayah, ibu, dan adiknya. Jelas sekali. Kedua mata buramnya kini terbuka lebar. Cerah. Memandang kami satu persatu yang sedari tadi menggerakkan bibir berdoa untuknya.
Masih dalam diam, saya puji Tuhan. Hamdalah mengalir dari bibir saya.
Begitu kuatnya hubungan Mu dengan perempuan yang Kau jadikan ibu dari anak muda ini. Hingga Kau kabulkan pintanya yang tadi dibisikannya padaMu melalui telinga anaknya.
Kau ijabah doa seorang Ibu hanya dalam hitungan detik.
Saya yakin, Tuhan juga mendengar doa-doa kami di ruangan itu siang tadi.
Pinta kami akan kesembuhannya.
Amin.
Memilukan.
Suram.
Mengiris hati.
Itu yang saya rasakan siang tadi. Kaki saya tiba-tiba saja kehilangan tenaga untuk berdiri lebih dekat dengannya. Saya lebih memilih duduk di karpet bersama beberapa ibu-ibu penjenguk lain yang khusyuk membaca Surah Yasin.
Mata saya tak lepas mengamati sang ayah yang menguatkan diri untuk berdiri sambil menggenggam tangan si buah hati yang berusaha keras bernafas dengan bantuan selang oksigen yang dimasukkan ke dalam hidung mancungnya, matanya hanya terbuka setengah. Sesekali sang ayah mengelap keringat yang membutir di dahi, pelipis, dan mengalir ke leher jagoannya itu dengan selembar tisu. Setelah itu ia membungkuk, mendekatkan mulutnya ke telinga si buah hati, membisikkan sesuatu, mungkin talkin, atau semangat atau apa saja yang bisa menguatkan mereka berdua. Saya benar-benar tak bisa berkata-kata. Saya tak kuat hati melihat sang ayah membelai kepala plontos jagoannya yang tak memberi respon apa-apa ketika namanya dipanggil lembut.
Sementara sang bunda dengan lemas duduk bergabung bersama ibu-ibu lain yang membaca ayat-ayat suci Al Qur'an. Mungkin ia sedang merecharge kembali hati dan jiwanya menghadapi apapun kenyataan pada detik, menit, dan jam-jam ke depan. Matanya tanpa ekspresi. Air matanya bergulir begitu saja tak terkendali di pipinya yang putih. Bibirnya pun terkunci. Sesekali ia berhenti membaca, beralih memandang belahan jiwa dan buah hatinya yang berjarak dua meter di depannya. Matanya dan mata suaminya seperti berbicara. Saya mengerti, di dalam situasi tersulit seperti yang mereka hadapi saat ini, terkadang bahasa tubuh akan jauh lebih bermakna.
Mencekam.
Tim medis datang. Memeriksa kembali kondisi anak mereka, memberikan suntikan di lengan kanannya, memastikan denyut nadinya, menghitung frekuensi nafasnya di atas dada yang turun naik kesusahan memompa udara, terdiam sejenak, berbicara dengan sesama rekan sejawat, dan akhirnya memutuskan untuk menaikkan kecepatan pompa oksigen, mengganti selang oksigen, terakhir sebelum keluar ruangan seorang dokter mencoba memanggil-manggil nama pasien sambil mengguncang-guncang bahunya. Tidak ada reaksi. Nafas dokter itu tertahan sebentar. Memandang ayah si anak agak lama dan berkata "Kita ganti selang oksigennya ya, Pak". Hanya itu.
Saya tertunduk. Saya tahu bahwa dokter itu pun tak sanggup lagi berkata-kata.
Tak lama setelah dokter dan tim medis lainnya keluar ruangan. Sang bunda tiba-tiba berdiri. Berjalan pasti dengan langkah agak cepat menuju suami dan buah hatinya. Mereka berdua bicara pelan, nyaris tak terdengar. Lalu ia membungkuk dan mengecup kening jagoan mereka. Membisikkan sesuatu berulang kali di telinganya. Air mata perempuan tegar itu jatuh menetes di pipi cekung pucat si buah hati. Sang ayah mengusap-usap punggung istrinya itu dengan pelan. Air matanya pun tak tertahan. Pertahanannya bobol. Mereka, suami istri itu tenggelam dalam isak. Semua yang ada makin terpekur. Menyembunyikan wajah sedalam-dalamnya dengan tundukan.
Lima belas menit kemudian saya lihat sang bunda meraih telefon genggamnya dan berbicara dengan sedu sedan mengabarkan kepada beberapa kerabatnya tentang kondisi anaknya yang kritis. Ia kelihatan sebisanya menguatkan hatinya sendiri. Ia mungkin tadi telah berbicara dengan cintanya kepada sang buah hati bahwa ia rela jika memang si buah hati tak lagi kuat dan ingin lepas dari segala sakitnya dengan memenuhi panggilan pencipta-Nya. Mungkin juga dengan kasihnya, ia dengan tulus mengikhlaskan apapun keputusan Tuhan yang akan digariskan pada tiap guliran waktu yang berjalan ke depan. Ia dengan segala rasa penyayangnya sebagai seorang ibu mungkin memang harus berdamai dengan kanker tulang ganas yang telah mengambil kaki kiri anaknya yang masih belia itu dan kini tengah menggerogoti lebih dari separo paru-paru si sulung tersebut.
Dan kali ini saya benar-benar tak mampu membendung air mata saya.
Telinga saya jelas mendengar sang anak mengikuti talkin yang dibisikkan sang ayah, ibu, dan adiknya. Jelas sekali. Kedua mata buramnya kini terbuka lebar. Cerah. Memandang kami satu persatu yang sedari tadi menggerakkan bibir berdoa untuknya.
Masih dalam diam, saya puji Tuhan. Hamdalah mengalir dari bibir saya.
Begitu kuatnya hubungan Mu dengan perempuan yang Kau jadikan ibu dari anak muda ini. Hingga Kau kabulkan pintanya yang tadi dibisikannya padaMu melalui telinga anaknya.
Kau ijabah doa seorang Ibu hanya dalam hitungan detik.
Saya yakin, Tuhan juga mendengar doa-doa kami di ruangan itu siang tadi.
Pinta kami akan kesembuhannya.
Amin.
Comments
Post a Comment