Skip to main content

Senja di Sederhana

Ide untuk buka bareng mama papa dan adik-adik tercetus begitu saja di kepala menjelang pukul lima sore. Tanpa reservasi tempat sebelumnya. Pokoknya kita buka diluar saja. Pilihan jatuh di RM Sederhana secara memang sudah beberapa hari ini gulai ayamnya yang paten enaknya mengganggu pikiran, terbang seperti kunang-kunang di depan mata, bikin tidur tidak nyenyak. Lebay memang, tetapi seperti itulah adanya. :)

Tepat pukul 17.30, papa datang kumplit dengan Mama, Widya, dan Wulan. Sayang Om Maman absen, demi bonus lebaran. Mobil dipacu papa dengan kecepatan yang lumayan untuk dalam kota. Demi meja. Demi delapan kursi. Karena ulah si sulung yang kerjanya nanggung. Janjian tanpa reservasi. Gambling! Untuk membayar rasa bersalah, begitu mobil berhenti di depan RM, langsunglah si sulung melompat turun, meninggalkan rombongan dan meminta pelayan mencarikan meja untuk delapan orang. Rada tipis harapan awalnya, melihat parkiran yang tak tersisa, dan kepala-kepala yang susah dihitung dari pintu masuk RM. Alhamdulilah, masih ada satu meja yang cukup untuk delapan orang. Kalau rezeki memang tak kemana.

Lima gelas teh manis panas, dua es jeruk, satu jus buah naga, satu jus alpukat, dan satu jus sirsak segera di pesan. Sementara menunggu waktu berbuka, mata nanar mengamati satu persatu lauk yang terhidang di depan mata. Mencari-cari kira-kira apa yang tidak ada. Okay...gulai tunjang, gulai pucuk ubi (daun singkong) campur tekokak, dan tambahan sambal lado hijau. Beri isyarat pada pelayan, pesan menu yang kurang, dan berikan senyum manis dan ucapan terima kasih ketika pesanan sampai bersamaan degan delapan piring dan tiga mangkok besar nasi putih dengan bulir-bulirnya yang padat berisi. Pasti Bareh Solok!

18.14 perjuangan menahan lapar tiba di ujungnya. Suasana Ramadhan menjadikan yang asing seperti bersaudara. Seperti senja itu, tiap-tiap mata yang saling berpapasan, saling menyapa dengan sinar hangatnya, sembari tersenyum dan menggerakkan sedikit gelas yang ada di tangan masing-masing sebagai ucapan "Selamat berbuka". Lapar yang membawa nikmat. Usai sholat, tentunya kami mulai bergiat menyendok dan melahap apa yang ada di depan mata. Seru...seru...seru.....! Ayam pop, ayam panggang, ayam gulai (my best choice), ayam goreng, ikan panggang, gulai tunjang, gulai pucuk ubi, kerupuk balado, sambal lado hijau, dan goreng balado ampela.... setengah jam kemudian yang tersisa hanya piring-piringnya saja.

Tentu saja pelayan dengan nota di tangan bahagia melihat perubahan luar biasa yang terjadi pada meja kami. Senyumnya lebar dan manis. Bahkan pemuda seumuran si bungsu kami itu dengan hangatnya melepas langkah kami keluar sambil berkata..."Terima kasih banyak, Mbak. Sampai jumpa lagi...".

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di