Skip to main content

Yuk Bersyukur..!!

Janji makan siang bareng di D.C. Berdua! Kurang dari setengah jam menunggu di Gramedia, sambil mencuri baca beberapa buku resep masakan di lantai dua, sebelum dering hp mengisyaratkan ada yang sudah menunggu di gedung depan.

There She was...! Seperti biasa...senyum si nona Ambon Manise menyambut di sofa setengah lingkaran putih pucat.

"Cari apa di Gramed?"sapanya.

"Cari ide masakan baru. Besok harus beli ikan gabur ukuran sedang, pengen bikin ikan gabur kuah cuka, kak."

Ngobrol sambil menunggu pesanan datang. Nasi bakar komplit dan Coffee latte untukku, Sate Ayam dan TutiFruti untuk sahabat tercinta.

Lalu cerita mengalir. Sambil makan. Mulai dari sebuah program tawaran sebuah institusi tentang pendidikan gratis, permohonan maaf (hahahaha) karena diktat Cross Culture Understanding yang super telat, sampai insiden kaki kirinya yang malang.

Dari beberapa cerita, ada satu cerita yang sarat hikmah untuk dijadikan teladan.

Here the story goes.....


Bagaimana kita bisa tidak bersyukur atas apa yang kita miliki dan kita dapatkan saat ini, jika dibandingkan dengan apa yang didapat oleh seorang karyawan sebuah salon kecantikan terkenal yang menyediakan jasa pijat kaki bagi pelanggannya.

Selama proses pemijatan berlangsung, sahabatku iseng bertanya untuk memancing obrolan dengan karyawan salon yang sedang memijat telapak kakinya. Sebuah prtanyaan sederhana, yang mungkin bagi sebagian besar orang dianggap kurang sopan. Pertanyaann tentang besar upah yang diterima oleh karyawan tersebut. Sahabatku yakin seratus persen bahwa gajinya pasti tak kurang dari UMR, sebesar Rp. 1.028.000,00. Dalam pikirannya, mana mungkin ada orang yang digaji kurang dari jumlah itu. Hari gini? Disaat semua harga barang dan kebutuhan tidak murah. Sementara tuntutan hidup kian tinggi, tinggi, dan tinggi.

Si Mbak tidak mengerti apa itu UMR. Dijelaskan sedikit oleh sahabatku. Dan ia hanya tersenyum. "Saya cuma dapat 160 ribu untuk gaji pokok, Mbak. 100 ribu untuk rumah, dan persenan yang juga tidak banyak untuk tiap kaki yang saya pijat. Kalau ada yang cuci rambut atau creambath, saya dapat 500 rupiah untuk satu kepala. Jumlahkan dengan gaji pokok dan uang untuk rumah tadi. Jika pelanggan tidak banyak, seringnya sebulan saya hanya dapat 600 ribu saja."

"Lalu makan gimana? Catering?" sobatku kembali bertanya.

"Catering? Ya ndak mungkin lah, Mbak. Bisa habis untuk makan saja gaji kalau saya catering. Untuk makan, beli nasi bungkus dan dibagi dua dengan teman. Biar irit!"jelasnya enteng, tanpa beban, tanpa helaan nafas mengisyaratkan keluhan.

Tinggal sahabatku yang bingung. Bingung mendengar cerita si Mbak yang memijat kakinya. Beli nasi bungkus, lalu dibagi 2 dengan teman agar irit? Kenyangkah? pasti pertanyaan itu yang menari-nari di kepalanya.

Si Mbak masih terus berseloroh.

"Uangnya sebagian saya kirim juga untuk orang tua di kampung. Dua bulan sekali. Memang orang tua saya ndak minta dikirimi sih, Mbak. Tapi saya ingin saja membantu. Orang tua saya tinggal di Palembang."

Walhasil, sahabatku makin terbengong-bengong. 600 ribu sebulan dari peluhnya memijat kaki-kaki para pelanggan. Dipotong uang makan, biaya rumah, pernak-pernik kebutuhan jamaknya wanita yang tentunya juga tak murah, biaya transportasi, dan mengirimi orang tua.

"Hebat kan si Mbak itu, Sa? Aku iri!"

Itu dua kalimat yang didapat sahabatku untuk menyimpulkan perbincangannya dengan si Mbak yang memijat kakinya kemarin siang. Aku pun mengangguk. Iri. Jika si Mbak itu bisa begitu bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang didapatnya dalam 600 ribu rupiah per bulan? Lalu bagaimana dengan kita dimana Tuhan mencurahkan rezeki tanpa harus memijat kaki orang lain?


Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.