Skip to main content

ROHANA

Ana Rohana. Begitu Bu Hafsah, kepala suku kita dulu, pejabat teras di Dinas Pendidikan Raja Ampat Papua memanggilnya. Lama kelamaan menjadi terbiasa dan disaat kenangan manis yg sempat kita rasakan selama satu bulan lebih bersama Bu Hafsah menyeruak, kita kembali memanggil ana dengan sebutan keramat itu. Ana Rohana. Tetapi ini bukan cerita tentang Bu Hafsah ya, ini tentang Ana. Tentang Rohana, sahabat Aceh kita. Satu-satunya orang yang telah menjejakkan kakinya di Sabang. Kagum? Boleh! Pada laut Sabangnya saja ya. Untuk Ana? Nanti dulu! Karena bukan hal 'wah' jika ana bisa ke Sabang. Tak heran, karena Sabang memang hanya 2-3 jam saja dari Padang Tidji, kampung halamannya.


Pertemuan pertama kita digariskan NESO di AIM. Satu Kelas. Tetapi jarang bersisian kursi. Bukan apa-apa. Bukan bermusuhan. Ana tidak bisa duduk didekat AC. Itu saja masalahnya. Perbedaan suhu, membuat kita 'berjarak' di dalam kelas. Hanya di kelas, karena selanjutnya kita begitu menjadi mesra setelah ditakdirkan juga bersama menuntut ilmu dan pengalaman di negeri Wilhelmina, wanita pujaan Pramoedya.

Lalu apa yang menjadi begitu penting untuk ditulis tentang Ana? Sampai-sampai niat mengedit empirical study untuk term paper CSLA urung dilakukan malam ini.

Menjadi tetangga sebelah kamar Ana, menjadi teman satu kelas, menjadi teman bercerita, telah membuat Ana tiba-tiba menjadi begitu menarik. Yakin, tidak ada satu pun yang memiliki pengalaman hidup yang begitu indah dan selengkap sahabatku satu ini.

Lahir dan dibesarkan di Padang Tidji. Berasal dari keluarga bersahaja. Ayahnya bukan orang besar, tetapi aku bisa katakan ayahnya seorang yang hebat. Beliau seorang petani biasa seperti umumnya laki-laki dikampungnya. Tetapi, yang membuat beliau menjadi tak biasa adalah kemampuannya menjadi mediator antara GAM dan TNI AD disaat Aceh sedang bergejolak lima tahun yang lalu. Tegas dan Lugas. Begitu ana mendeskripsikan sang ayah. Hingga terkadang Ana tak sampai hati memutuskan cerita beliau yang berapi-api tentang keadaan politik di Indonesia saat ini ketika menelfon ke kampung halamannya. Pasca Tsunami pun, ketika sebagian Aceh luluh lantak dan bantuan asing banyak masuk, lengkap dengan tenaga asingnya juga, laki-laki paruh baya ini pun menjadi orang yang dicari-cari untuk menjadi tempat bertanya, berkomunikasi, dan kembali menjadi mediator antara sukarelawan asing dan penduduk setempat. Tanpa pamrih.

Lantas Ana? Spesial. Menarik. Tak pernah bosan mendengar cerita tentang dirinya sendiri. Setiap kali sehabis makan malam, kekenyangan dan enggan beranjak meninggalkan dapur. Kami asik menyimaknya bercerita. Pernah turun ke sawah? Menanam padi? Menjaganya dengan duduk setia sendiri di dangau dan menarik tali penghalau pipit pemakan bulir padi? Ana pernah! Itu semua bukan pekerjaan baru baginya. Gesturenya ketika bercerita membuktikan bahwa ceritanya bukan bualan belaka. Lebih seru lagi ketika sampai pada detik-detik yang mendebarkan, ketika suaranya makin meninggi dan gerakan tangannya yang terbilang iconic makin agresif menyertai ceritanya. Cerita tentang pengalamannya dikejar celeng atau babi hutan disaat musim panen tiba. Kalau tidak salah, dalam cerita itu yang menjadi sasaran si celeng adalah abangnya. Tak punya nyali melihat sang kakak menjadi target si celeng, Ana berinisiatif mengalihkan perhatian hewan tersebut. Berhasil! Ana jadi umpan sendiri. Membentangkan kedua tangannya. Tegang! Perhatian si celeng beralih, mengejar Ana. Sekuat tenaga berlari, diikuti teriakan kepanikan ibu dan abangnya. Dan Ana bilang, mukjizat Tuhan membuat celeng itu urung menyerangnya. Mungkin karena doa ibu dan abangnya, atau bisa juga dengan kecepatan lari berikut tikungan tajamnya yang membuat si celeng, binatang anti tikungan, jelas mati gaya. Yang pasti, ketika cerita itu usai. Tak ada satu pun dari kami berempat yang menyadari kapan ana berdiri dari duduknya. Kekaguman pada ana bertambah satu. Terkadang juga Ana dengan kesal becerita bagaimana lelah menanam padi tak terbayar dan menjadi sia-sia ketika melihat tanaman yang subur pada empat bulan pertama menjelang panen itu, dirusak oleh babi hutan. Atau lain waktu, ia juga mengisahkan nasib malangnya terjatuh ke dalam sumur di ladang, dan naasnya di sumur itu juga telah ada penunggunya, seekor ular air. Masih mujur, si ular tak berbisa. Kembali, kekaguman akan petualangan ana naik ke level lebih tinggi.

Di lain malam, topik beralih. Cerita tentang keinginan untuk merubah wajah pendidikan. Tidak muluk-muluk seperti mimpi menteri pendidikan yang ingin merubah wajah pendidikan Indonesia, tidak juga seperti janji kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten, atau kota yang sesumbar ingin setengah mati menjadikan pendidikan di tempat mereka nomor satu kualitasnya. Katanya. Ana hanya ingin merubah mutu pendidikan di satu kelas saja dulu. Di sekolah tempat ia mengajar. Paling tidak, dikelas dimana ia menjadi wali kelas. Jika sudah bicara masalah ini, biasanya Ana akan lebih sering menghela nafasnya dalam-dalam. Seperti mengatur emosinya atau mungkin sebagai tanda bahwa ia nyaris putus asa dengan kenyataan yang ada. Anak-anak pantai adalah anak-anak didiknya. Anak-anak nelayan. Kehidupan mereka sama kerasnya dengan tiupan angin laut, debur ombak, dan bahkan batu karang. Mereka bersekolah bukan dari hati. Hanya semata karena mau bersekolah saja. Nyaris tanpa motivasi. Orangtua mereka memang tidak bisa meletakkan pendidikan anak-anak mereka di urutan pertama. Karena urusan perut jauh lebih penting. Perut mereka saja tidak jelas akan diisi apa besok atau lusa. Ada juga anak-anak yang berasal dari keluarga mampu. Tetapi sama saja. Tak jauh beda. Uang ada. Tetapi bukan untuk membeli buku-buku atau menambah keterampilan. Sayang. Karena dari buku dan keterampilan itu, hasilnya tidak jelas. Mungkin begitu menurut mereka. Jadi lebih baik beli motor atau HP. Dan jika bicara motivasi belajar? Sama saja. Ada uang ada kerja. Mau jadi apa? PNS? Polisi? Pegawai Bank? Tinggal sediakan puluhan juta. ‘Seperti tetangga sebelah rumah kami, Bu. 50 juta dan dia lulus AKABRI’. Lalu Ana harus bilang apa? Habis kata. Keterbatasan media pengajaran juga menjadi kendala, rekan sejawat yang tak sepenuh hati menjalankan bakti, dan sakit hati melihat koordinasi pemda yang juga payah. Jauh panggang dari api, kira-kira seperti itulah ukuran antara harapan yang ingin dicapainya dengan kenyataan yang ada di depan mata. Tetapi Arai dalam Laskar Pelangi berkata BERMIMPILAH MAKA TUHAN AKAN MEMELUK MIMPIMU. Dan aku yakin, saat ini sebagian mimpi dan harapan Ana telah diraihnya. Melihat sesuatu yang berbeda di negeri kecil ini untuk mengambil sebanyak mungkin ilmu dan pengalaman yang pastinya akan bermanfaat untuk meraih mimpi berikutnya di tanah Acehnya sendiri. Ketika cerita perihal perjuangannya menjadi seorang guru di tempat terpencil usai. Seperti yang sudah-sudah, maka tingkat kesalutan kami pun beranjak naik lebih tinggi.

Masih ada satu lagi ceritanya, tentang beasiswa ini. Iklan kecil di sudut halaman surat kabar daerah tentang pendaftaran berikut syarat-syaratnya. Benua Napoleon. Tetangga kota kelahiran Rosa Luxemburg. Belanda. Jantungnya Eropa. Mengapa tidak? Setelah mendapat persetujuan dari orangtua dan segenap anggota keluarga. Perjuangan dimulai. Mencari informasi selengkap mungkin di website Neso. Caranya? Ke warnet. Jangan tanya jaraknya. Mendengarnya saja sudah cukup membuat nafas tersengal. Jauh sekali. 20 kilo kurang lebih. One way! Lucu juga ketika mendengar Ana cerita bahwa itu pengalaman pertamanya bersentuhan dengan yang namanya internet. Informasi didapat dan bahan-bahan dilengkapi, lalu aplikasi terkirim sudah. Seleksi bahan, goal. Berlanjut ke tahapan interview. Artinya harus ke ibukota. Jauh juga. Hasilnya? Tak sia-sia. Awal Desember diumumkan dan lulus. Pengalaman baru lebih menarik rupanya. Harus ke Jakarta diakhir Desember untuk tes TOEFL dan TPA. Menurut Ana, tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menjejakkan kaki di Jakarta, pakai pesawat pula. Tetapi semuanya berjalan mulus. Hasil TOEFL dan TPA memutuskan pelatihan EAP selama 4 bulan. Dan memulai perjalanan ke Belanda dari Manggarai, Jakarta Selatan, selama empat bulan cukup membuktikan bahwa ternyata siapa saja bisa meraih mimpinya. Seperti Ana Rohana, begitu Bu Hafsah selalu memanggilnya, orang pertama di desanya yang terbang menjemput harapan di kota tertua , Nijmegen, Belanda.

Willemsweg, January 28, 2010. 3:24 AM

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.