Skip to main content

Di Leiden Ku Temukan Mereka

Yang pernah membacanya akan berkata bahwa roman ini indah. Dan aku yakin indah, ketika papa dan saudara-saudara beliau yang kesemuanya kutu buku, kecuali Pakcik Is si Bungsu, selalu bersemangat mengurai kisah dua sejoli Zainuddin dan Hajati. Bahkan Bundo Tati, kakak papa yang nomor empat selalu bilang, ini kisah klasik yang tak akan lekang dimakan zaman.


Tetapi yakin saja tidak pernah cukup tanpa benar-benar pernah membacanya. Walhasil, pencarian roman klasik angkatan Pujangga Baru ini pun telah di mulai dari zaman kuliah di Padang. Sialnya tak pernah bersua. Mulai dari mencarinya di perpustakaan fakultas di belakang ruang sidang dekan, berlanjut ke perpustakaan pusat kampus, masih saja nihil. Sesaat terlupakan, tapi kemudian muncul kembali jika pulang ke Jambi dan berdiskusi tentang banyak hal dengan ayah tercinta, maka Hamka akan kembali muncul ke permukaan, dan otomatislah dua orang ciptaannya, Zainuddin dan Hajati, semakin membuat hati ingin mencari-cari. Kemana saja. Sampai dapat! Libur usai, kembali ke Padang, Senin sampai Jumat nyaris tidak bisa diganggu gugat. Target berikutnya adalah perpustakaan daerah di Sabtu pagi menjelang siang dekat taman budaya. Kecewa karena tetap mendapatkan gelengan dari petugasnya, maka sentra pedagang buku-buku bekas di lantai dua pasaraya menjadi harapan. Barangkali ada. Memberanikan diri sendiri mencari-cari diantara banyaknya pembeli dan pembaca yang menyewa dengan 1000-1500 perjam disekian banyak deretan toko-toko buku bekas tersebut, pada akhirnya tetap para pedagang buku-buku bekas itu berusaha menghibur dengan berkata "Pantiang bana buku tu, diak? Beko uda usaoan mancarinyo". Artinya? Sudahlah Ilsa, memang sudah hilang buku itu dari peredaran mau diapakan? beralih saja ke yang lain. Perjuangan sepertinya harus selesai sampai di lantai dua, pasaraya Padang.

Lumayan lama terkubur dua nama itu dalam kepala. Tetapi segar kembali ketika semakin sering dinas ke Jakarta dan berkantor induk pula di Pusat Bahasa. Mungkin ada di perpustakaannya. Tetapi sudah juga dicoba. Does not exist. Masih tak berputus asa, hunting lagi bersama suami ke Kwitang, tanya sana sini, dan penjualnya hanya nyengir. Pertanda tak ada barangnya. Ya sudah....memang nasib lagi tak mujur. Sepertinya harus berpuas diri dengan hanya mendengar kisahnya dari mulut papa dan saudara-saudara beliau.

Tetapi seperti yang sudah-sudah, Tuhan memang baik hati ya. Di Leiden akhirnya kutemukan mereka. Dalam dua hari dari waktu pemesanan, mereka akan tiba. Hari ini, meluncur dalam dingin dan salju yang mulai kembali turun, ku songsong mereka.Mevrouw cantik setengah baya beramput cepak dan berkacamata bingkai merah itu menyambut dengan senyum manis. Seperti biasa. Staff perpustakaan tersebut menerima surat pemberitahuan yang kuberikan, ia berdiri dari kursinya, beranjak mencari mereka di tempat khusus, dan kembali 2 menit kemudian. Scan kartu anggota. Dan serah terima pun usai. Sebelum beranjak beliau sempat berkata "You look so happy today". Iya mevrouw...dua sejoli di dalam buku ini membuatku bahagia. Setelah sekian lama.

(Willemsweg, dalam hujan salju. again....)

Nijmegen, February 10,2010.

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.