Skip to main content

Cerita Putih Biru

Dulu, 1992-1995.

Heboh! Rame! Semuanya riang!


Masih ingat jaman ketika kita memasuki gerbang ini? (dulu ga sekeren ini sih..). Jaman kita masih pake seragam putih biru. Jaman ketika harus lari terbirit-birit sambil menyandang tas ketika jam hampir menunjukkan pukul 06.30 teng (kalo ga salah). Telat saja beberapa detik, maka bersiaplah berbaris dengan kepala tertunduk tepat di depan area parkir kendaraan guru-guru. Tentunya dengan guru piket yang bertugas hari itu ditambah Kepala Sekolah yang berdiri dengan berwibawa dalam stelan safari biru tua dan tangan yang disembunyikan di dalam saku celana. Yang datang tepat waktu? Sebelum bel berbunyi? Aman! Tetapi tetap saja ada Kepala Sekolah dan beberapa guru yang berdiri di gerbang, selalu setia bersiaga mengingatkan jika di tangan kita tidak ada daun-daun kering atau sampah plastik yang dipungut di halaman luar pagar sebagai bukti bahwa kita peduli dan cinta lingkungan. Lucunya, kadang kita harus memaksa teman untuk berbagi sampah ketika halaman sudah bersih dan tidak ada lagi daun-daun kering yg bisa dipungut. Daripada tidak bisa masuk?

Pelajaran tidak akan otomatis dimulai ketika bel berdentang dan waktu menunjukkan pukul 06.30 pas. Saat berikutnya, waktunya guru-guru olah raga memegang peranan. Mulia. Mereka mengawasi jalannya ritual khusus para siswa, ya kita-kita..duluuu, untuk berbaris rapi dan serentak menggerakkan badan seiring irama SKJ melalui kaset yg diputar dari tape deck warna hitam di depan kantor OSIS (sekarang telah berubah menjadi ruang majelis guru). Ritual menyehatkan ini dilakukan di lapangan tengah yang masih dinaungi beberapa pohon (masih ingat kan satu pohon besar di tengah lapangan yg sering dijadikan sarana berlatih ketangkasan bagi regu pramuka kebanggaan kita, Garuda dan Melati). Jangan coba-coba untuk bersenda gurau dan senam dengan asal-asalan jika tidak ingin dijewer dan meringis kesakitan. Hanya setengah jam saja. Lalu kita memulai pelajaran pertama dengan lebih segar dan bersemangat. Otomatis, karena peredaran darah ke otak dilancarkan oleh gerakan-gerakan SKJ tadi.

(Garuda & Melati: Regu Pramuka Kebanggaan Kita)

Beda kelas, beda pelajaran setiap pagi (ada juga sih yang sama tetapi beda guru). Biasanya, telah menjadi semacam kesepakatan, pelajaran berat selalu hadir di awal. Matematika, misalnya. Maka, bersiaplah (masih kelas 1 nih ceritanya) mengeluarkan penggaris untuk membuat diagram venn, atau jangka dan busur untuk mengukur jarak satu sudut dengan sudut lainnya di dalam lingkaran atau di luarnya. Masih ingat juga dong, dua buah lingkaran yang digambar dengan sangat rapi di papan tulis. Satu besar dan satu kecil. Jika dibuat garis memanjang yang menghubungkan dua buah lingkaran tersebut, akan menyerupai ban sepeda yg ada di sirkus-sirkus. Atau (ini kelas tiga ya...) panas dinginnya tangan ketika berusaha mengingat hafalan trigonometri, sudut-sudut istimewa pada kuadran I (sin, cos, tan untuk sudut 0, 30, 45, 60 dan 90) karena akan ditanya langsung oleh Pak Guru. Hmmm....dan ternyata trigonometri masih dijumpai dalam bentuk yang makin kompleks di saat kita berganti seragam. Hiaaa....ternyata tidak cukup hanya dengan kuadran 1, sudut istimewa yang kuadran 2,3, dan 4 juga ada. Tetapi teman, angka-angka dan sudut-sudut ini yang telah mengantarkan sebagian dari kita menjadi sarjana teknik jebolan universitas-universitas terbaik di Indonesia.



Itu angka-angka dan sudut-sudut di dalam matematika. Bagaimana dengan angka-angka bersimbol Rp di depannya, yg harus kita buat seimbang antara kolom kanan dan kiri dalam neraca keuangan sederhana pada lembaran ukuran folio, lalu menghitung dan membuat laporan laba rugi, beberapa tahun ke depan, angka-angka yang diajarkan oleh guru ekonomi ini yang juga mengantarkan banyak teman kita menjadi bankir dan akuntan. Atau biologi? Ingat ketika masih duduk di kelas 1, kita bereksperimen di Lab. Bio dengan membawa beberapa butir kacang hijau dan meletakkannya di atas kapas basah, lalu keesokan harinya, kita amati kecambah yg tumbuh? Lalu hanyut dengan penjelasan guru biologi kita akan keanekaragaman hayati, seluk beluk pencernaan, dan sistem pernafasan makhluk hidup. Eksperimen kecil itu, deretan bangku-bangku bundar di Lab dan segala pirantinya beserta sang guru telah membuat tak sedikit diantara kita menjadi sarjana pertanian, peternakan, dokter, dan ahli kimia. Mereka pasti bangga!

Kembali pada pelajaran pertama yang dengan sukses kita jalani selama 2 x 45 menit (45 menit kan?). Setelah jam ke tiga, sebelum bel istirahat membawa suaranya ke telinga kita, semuanya telah siap memasang kuda-kuda untuk berlari sekencang mungkin ke kantin. Kita punya dua kantin waktu itu. Kantin Bude Nyamat dan kantin Bu Is. ( Ga akan lupa dong...). Makannya? Tinggal pilih, mau lontong sayur, soto, gorengan, pempek, nasi gemuk atau nasi goreng? Minumnya es si Om. Mau warna merah, hitam, kuning, atau putih. Tinggal pesan! Bayar saja dengan dua buah uang logam ratusan (200 atau 150 ya?). Aahhh... kalau saja waktu bisa diputar kebelakang, melihat bagaimana riuhnya kita tumpang tindih memesan jajanan di dua kantin tersebut. Lalu kembali khusyuk mengikuti pelajaran demi pelajaran hingga berakhir pada pukul 13.30 dan kembali tumpah ruah menuju gerbang sembari terkadang menyalami satu demi satu guru yang berpapasan. Semuanya...akan selalu indah untuk kita kenang!

(Imported from FB: Willwemsweg, Thursday, October 29, 2009 at 2:12pm)

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.