Skip to main content

Bapak

Pertama kali bertemu dengan beliau disaat saya datang untuk menghadiri wisuda abang. Mengenakan batik khas Jawa dan kopiah hitam. Beliau sedang duduk di meja makan pagi itu. Senyum di raut setengah bayanya menyambut saya. Dijawabnya salam saya dengan bersahaja. Saya salami dan cium tangan beliau dengan takzim. Pagi itu kami tak sempat banyak bicara, karena saya begitu terburu-buru bersiap-siap untuk menghadiri acara wisuda abang yang tinggal satu jam lagi. Bus malam yang membawa saya dari Padang mengalami beberapa masalah dan jadilah sampai di tujuan menjelang pukul 9 pagi.


Menghadapi bapak yang sebentar lagi akan menjadi calon mertua, terang membuat saya kikuk. Saya tanyakan kabar ibu dan saudara-saudara di Jakarta sambil memperhatikan perhatikan dengan seksama wajah beliau. Terlihat jelas gurat-gurat tegar dimasa mudanya dulu.

Pertemuan kedua kami setahun berikutnya, disaat pernikahan akan diselenggarakan. Tak kikuk lagi tentunya. Bapak datang bersama ibu dan beberapa saudara. Mendampingi kami yang menjadi raja dan ratu sehari. Empat hari kemudian, kami mengantar beliau dan ibu kembali ke Jakarta. Lebaran pertama di penghujung 2003, kembali mempertemukan kami dalam sebuah ikatan keluarga. Menantu baru. Satu-satunya yang berasal dari tanah sumatera. Keakraban mulai terjalin. Mesra. Pun dengan ibu mertua. Dari abang saya dapatkan info sebelum berangkat ke Jakarta tentang apa saja yang disukai bapak. Bapak suka sekali minum teh melati yang di seduh di dalam gelas beling besar, menjelang siang biasanya beliau akan disuguhi kopi torabika hangat oleh ibu, dan menikmatinya sambil duduk-duduk di kursi bambu di teras rumah yang menghadap ke jalan, seringnya sambil membalas sapa setiap orang yang melintas di depan rumah, bapak yang merasa makan siangnya tak lengkap tanpa tempe goreng, dan bapak pecinta pete rebus. Dan satu hal lagi, suami saya bilang...bapak tak perlu obat mahal jika demam atau meriang. Cukup dengan sebungkus nasi padang. Maka bapak akan kembali segar. Mungkin itu juga yang menjadikan saya dan abang berjodoh. Agar terpenuhi keinginan bapak untuk dimasaki masakan padang ketika saya datang ke Jakarta melihatnya.

Betapa saya merindukan laki-laki setengah baya yang telah menjadikan abang imam dalam hidup saya. Rindu ngobrol bersama beliau, menanyakan kabarnya, atau mengingatkannya untuk tak banyak merokok karena paru-parunya tentunya tak sekuat dulu lagi. Biasanya bapak akan berkata "Ga papa. Kita ga merasakan apa-apa kok. Kita sudah merokok dari muda." sambil tetap asyik menghisap tembakaunya dan melepaskan pandangannya ke jalan di depan rumah. Saya juga rindu memasakkan bapak rendang. Rindu melihat beliau hilir mudik ke dapur setiap setengah jam sekali, memastikan kalau rendang yang saya masak sudah matang. Lalu berpesan..."Kuahnya jangan dikeringin ya...". Kalau sudah begitu, biasanya ibu hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Bapak cerewet ya. Biasanya ga pernah bolak-balik begitu ke dapur kalo ibu masak." selorohnya senang. Dan ketika rendang selesai telah matang, bapak akan meminta ibu menghidangkannya. Lengkap dengan pete rebus. Melihat beliau lahap makan, lelah saya pun terbang. Jika waktu saya singkat dan kesibukan penataran atau pelatihan di Jakarta tak memungkinkan saya untuk memasak menu kesukaan bapak, Nasi Kapau langganan di Pasar Minggu menjadi pengganti setiap kali  menyambangi bapak dan ibu di akhir pekan. Bahagia rasanya bisa makan bertiga bersama mereka. Sambil ngobrol dan diselingi gelak tawa.

Terakhir saya bertemu bapak sebelum berangkat, bapak tak sekuat dulu lagi, lebih renta. Tanyanya lebih sering diulang-ulang, faktor usia membuat bapak tak mampu menyimpan lama informasi yang diterimanya. Tetapi saya akan tetap sabar menjawab setiap tanya beliau. Kesabaran yang tentu jauh ukurannya dari kesabaran dan perjuangannya membesarkan dan mendidik suami saya serta tujuh saudara-saudara yang lain.

(Nijmegen, Tuesday, April 13, 2010)

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.