Skip to main content

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap.

Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun. 

"Hamzah mau ambil wudu dulu..."

"O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya.

Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya. 

Ia tersenyum. 

"Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya.

Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening?

"Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di dada saya. 

"Hamzah mau witir?"

"Iya.... Tiga rakaat boleh?"

Saya raup wajahnya. Tahukah bocah kecil ini bahwa saat ini dada ibunya akan meledak karena bahagia. Tahukah ia?

"Hamzah...bagaimana lagi Bunda harus berterima kasih pada Allah"

"Berterima kasih untuk apa?"

"Untuk kebaikan Allah yang memberikan Hamzah untuk Bunda."

Ia tersenyum tipis dan kembali membenamkan kepalanya dalam pelukan.

"Nanti Hamzah dibangunin sebelum Subuh ya, Bun. Hamzah mau tahajud juga."

Saya kehabisan kata. 

Saya hujani ia dengan ciuman di tangan, pipi, mata, dahi, dan ubun-ubunnya yang basah. 

"Bangunin ya, Bun..."pintanya sembari meraih sajadah merah. Saya mengangguk. 

Lekat saya amati ia membentangkan sajadah, bertakbir, rukuk, dan sujud. Ia yang masih tujuh tahun. Ia yang dihadirkan Allah sebagai jawaban atas pinta kami sebelum salam dalam setiap tahiat akhir. Ia yang semoga selalu Allah jadikan setiap hal di setiap detik kehidupannya bernilai ibadah dan penuh dengan kebahagiaan. Ia yang tak selamanya bisa saya dan ayahnya dampingi karena kefanaan waktu. Ia yang semoga Allah teguhkan hatinya dalam keistikamahan untuk selalu bersujud di mana dan kapan pun ia berada. 

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.