Sepeninggal Yuk Ndut, kami sempat kelimpungan mencari orang yang tepat untuk menggantikannya menjaga Izzati saat kami bekerja. Selama beberapa minggu Izzati yang baru enam bulan terpaksa dijaga neneknya sambil kami terus bertanya dan menitip pesan kepada sejawat, sanak saudara, dan teman-teman senyampang ada informasi tentang orang yang bisa membantu kami menjaga Izzati, tentunya dengan kriteria yang telah kami sampaikan kepada mereka. Bukan ingin cerewet dan pilah-pilih, tetapi memberikan syarat yang ketat itu penting untuk kenyamanan kami, apalagi Izzati.
Alhamdulillah Allah memberikan jalan melalui salah seorang kerabat. Kami menyambangi rumahnya dan perempuan lewat paruh baya itu tiba tak lama setelah kami datang. Beliau berbicara dalam logat Palembang yang kental. Pembawaannya tenang. Ia meminta kami memanggilnya sebagaimana orang-orang di lingkungannya memanggilnya. Wak Rama. Ia baru beberapa hari berhenti bekerja di rumah makan yang dikelola tetangganya. Kami kemukakan apa yang kami cari dari seorang pengasuh untuk Izzati. Apa yang harus dilakukannya, berapa hari ia harus datang ke rumah, dan besaran gaji yang akan diterimanya. Ia tidak menyela atau bertanya apa pun. Dan kami pun pulang dengan bungah. Allah benar-benar membuat semua urusan kami sore itu menjadi mudah.
Wak Rama butuh beberapa hari saja untuk menyesuaikan diri dengan Izzati. Di beberapa bulan pertama, beliau memang kami minta untuk menjaga Izzati di rumah neneknya. Sehingga sang nenek bisa memberitahu apa-apa saja yang harus dilakukan untuk Izzati, yang dulu biasa dilakukan oleh almarhumah Yuk Ndut. Satu hal yang saat itu membuat kami sedikit geli adalah senandung Wak Rama yang jauh berbeda dengan tembang-tembang Yuk Ndut. Jelas bedanya. Yuk Ndut yang berdarah Sunda dengan alunan tembang Sunda nan merdu mampu menghipnotis Izzati untuk segera terlelap dalam gendongannya yang hangat . Apalagi Yuk Ndut berbadan teramat subur. Berada dalam dekapan dan gendongannya pastilah sama rasanya dengan berada di empuknya matras kingkoil. Yuk Ndut juga juara bertahan keluarga kami dalam urusan pijat-memijat. Hingga detik ini, beliau tak tergantikan. How we miss her dearly. Semoga Allah melapangkan kuburnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Izzati menjadi terbiasa dengan senandung Wak Rama yang biasa-biasa saja. Ada bagunya juga si gadis kecil kami itu diperkenalkan dengan berbagai senandung dari orang-orang dengan latar budaya yang berbeda, setidaknya itu mengajarkan kebinekaan sedari ia dini. ❤
Sering kami berpikir bahwa Allah itu terlalu baik. Wak Rama bukan hanya dijadikannya cocok untuk Izzati dengan segala sifat keibuan dan kesigapannya mengurus balita dan juga sesekali membersihkan rumah ketika Izzati tengah lelap, Wak Rama juga menjadi teman setia Mbahnya Izzati. Melihat mereka berdua ngobrol tentang berbagai hal dan tertawa bersama membuat kami sungguh bahagia. Sesederhana itu saja memang. Sesederhana kenikmatan dari dua cangkir kopi luwak yang diseduh dari satu saset, yang dinikmati Wak Rama dan Mbah Uti pada pukul sepuluh pagi. Hanya satu saset untuk berdua. Itu sudah menjadi pakem coffee break mereka. Sejauh ini tidak ada yang bisa mengubahnya. Kala Wak Rama tidak sedang berdinas di Sabtu dan Minggu, Mbah Uti pun tak hendak diseduhkan kopi. Mungkin dirasanya tak lengkap menyeruput kopi luwak tanpa Uwak. Mereka sehati. Pazel-pazel kehidupan mereka memiliki banyak warna yang sama. Mungkin itu yang membuat keduanya begitu dekat. Mereka sama-sama pernah kehilangan buah hati di saat sedang lucu-lucunya. Hanya saja, Wak Rama tak seberuntung Mbah Uti yang harus berjuang membiayai anak-anaknya sendiri karena suaminya lebih dulu "kembali pulang".
Comments
Post a Comment