My mistress' eyes are nothing like the sun;
Coral is far more red than her lips' red;
If snow be white, why then her breasts are dun;
If hairs be wires, black wires grow on her head.
I have seen roses damasked, red and white,
But no such roses see I in her cheeks;
And in some perfumes is there more delight
Than in the breath that from my mistress reeks.
I love to hear her speak, yet well I know
That music hath a far more pleasing sound;
I grant I never saw a goddess go;
My mistress, when she walks, treads on the ground.
And yet, by heaven, I think my love as rare
As any she belied with false compare.
Gara-gara obrolan tentang bagaimana romantis itu, kok ya saya jadi ingat bait-bait indah dari Sonnet 130-nya Mr. Shakespeare. Maka saya google-lah dan saya tempel deh di blog ini. Membacanya membuat saya rindu kelas sastra lagi. Rindu diskusi-diskusi ringan dan berat tentang berbagai permasalahan manusia (khususnya masalah cinta...halah...) yang kami coba kupas dari berbagai perspektif sederhana mahasiswa S1, berbekal teori-teori kitab sastra sejuta umat René Wellek . Bukan teorinya Harlequin lo ya.
Saya pikir kutipan dari Sonnet 130 di atas romantis. Kok bisa? Shakespeare tidak memuja wanitanya lo di situ. Dikatakanlah mata sang kekasih itu ga ada apa-apanya dibandingkan matahari yang bersinar terang, bibirnya pun tak semerah batu marjan, dadanya coklat, dan rambutnya bak kawat nan kaku. Romantiskah? Ya jelaslah tidak.
Tapi, coba deh lihat di beberapa kalimat setelah itu. Saya menemukan keromantisan yang tak biasa di sana. Dasar penyair. Shakespeare menganggap bunga mawar itu tak seindah rona merah yang ada di pipi sang kekasih. Lugas ia mengatakan bahwa sang kekasih tak kan bisa dibandingkan dengan apapun. Ia dengan segala yang ada padanya, teramat indah bagi Om Shakespeare. Sweet.
Ayo, jangan lupa romantis dengan cara kita masing-masing ya.
Comments
Post a Comment