Skip to main content

Cinta Dalam Semangkuk Soto Tulang Presto


(Source:www.theknot.com)

Siapa bilang urusan makan itu urusan yang sepele untuk diperhatikan di dalam kehidupan berumah tangga. Siapa bilang? 

Percayalah, racikan tangan istri yang menjelma dalam sepiring sajian di atas meja makan tetaplah memiliki makna yang tak sama nilainya dibandingkan dengan makanan restoran termahal dan terenak sekali pun. Percayalah. Restoran tidak pernah menakar bumbu cinta di dalam sajiannya. Hitungannya cuma laba.  

Jadi, percaya tidak percaya, maka percayalah...seenak-enaknya makanan luar, jika Anda seorang istri dan ibu, lalu Anda sajikan olahan tangan Anda sendiri di meja makan, ada cinta yang lebih besar dan kenyamanan sebagai imbalannya. Imbalan itu datang begitu saja. Otomatis. 

Tadinya kami kerap berpikir keras. Sebenarnya tidaklah penting untuk dipikirkan karena tidak akan masuk ke dalam rincian kerja kami sebagai penerjemah. Namun, kala senggang, entahlah mengapa selalu saja bahasan kembali pada dilema rumah tangga yang kerap terjadi. Yang pasti bukan rumah tangganya.  Dia bertanya. Saya menjawab. Dia mencoba memposisikan dirinya di sana. Saya mencoba mengoreksi bagaimana seharusnya posisi itu utuh diperankan. Lalu kami tertawa bersama. 

Pagi ini, di meja kerja masing-masing, kami kembali bercerita. Tentang tulang lunak dan cinta. Lalu kami dapatkan jawabannya. Percaya tidak percaya. Percayalah, ternyata cinta tidak sesederhana yang dikira. Cinta itu harus bisa dikukuhkan dan dipertahankan dalam segala rupa. Bahkan dalam semangkuk soto dengan tulang lunak. 

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di