Mencoba menjadi orang Jakarta lagi. Begitu caption-nya. Ia berswafoto di depan kereta jurusan Depok.
Bayangan kelam nan membawa trauma tentang bagaimana tidak nyamannya berdesakan ala sarden di dalam kereta hampir lima belas tahun silam bersama lelaki itu tidak muncul kali ini. Kereta di belakangnya lebih nyaman. Tidak kumuh. Tidak menakutkan. Tidak dipenuhi beraneka ragam aroma jutaan butiran peluh orang-orang yang lelah.
Pastikan semua barang-barang aman. Maklum...mudah ketiduran soalnya. Komentar terkirim.
Emoticon konyol menyudahi obrolan pada tengah hari menjelang sore itu.
Lelaki itu mungkin sedang menikmati menit-menit pertamanya di salah satu gerbong. Menit-menit berikutnya ia pasti sedang menyambangi banyak tempat di dalam mimpinya. Bisa jadi ia tengah bermimpi berada di gerai ayam goreng khas Amerika kesukaan ibunya. Lelaki itu penidur dan terkadang ia sangat ingin bisa seperti itu. Aroma bantal, untuk lelaki tersebut, bisa mengalahkan semerbaknya wangi kopi rebus dari dapur mereka yang seharusnya menggoda.
Berapa jam kereta itu membawa lelaki tersebut ke pelukan ibunya?
Mugkin lebih cepat dari lamanya waktu ia mengamati wajah di potret itu. Matanya masih nanar memandang rambut lelaki tersebut. Tidak lagi hitam semua. Beberapa terlihat berwarna lebih terang, lebih banyak, dan lebih kentara.
Februari. Itu yang terbaca di kalender pada sudut meja kerjanya.
Februari. Itu yang terbaca di kalender pada sudut meja kerjanya.
April nanti lima belas tahun mereka. Ketika menua bersama menjamur dalam lirik lagu-lagu cinta, ia bertanya sendiri, pada April keberapa mereka bisa menertawakan rambut mereka yang tak lagi sama-sama hitam.
Comments
Post a Comment