Skip to main content

Wajah di Rumah Rindang

Di dalam Xenia, sopir berusia paruh baya yang rapi itu meladeni obrolan penumpangnya. Gerimis tidak berhenti. Itu penyebab mengapa pagi ini ia, laki-laki berpeci haji dan berdialek Jawa kental itu, mengantarkan perempuan menjelang empat puluh itu ke kantornya. Berbaju merah, berpoles bedak, dan berlipstik merah pekat. 

"Insyaallah bulan Desember nanti kami akan berlibur ke Jawa, Pak. Ke Petanahan, Kebumen. Kampung suami saya. Sebenarnya dia dilahirkan di Jakarta, di sana tinggal keluarga mertua saja. Kami ingin membawa orang tua juga. Mumpung bisa. Orang tua saya sudah pensiun. Rencana mengendarai mobil sendiri. Bermalam di Palembang dan Lampung."

Sopir itu mengiyakan. Mengangguk.

"Saya juga akan berwisata dalam waktu dekat ini, Bu. Wisata religi ke Wali Songo."gantian si sopir mengeluarkan suaranya. 

Wali Songo. Tiba-tiba berkelebat bayangan almarhum bapak mertuanya. Penumpang si sopir tersenyum.

"Bapak mertua saya semasa hidupnya juga rutin berwisata religi, Pak."

"Di Jawa masih sering orang-orang berwisata ke tempat-tempat seperti itu. Tapi di Sumatra ini...boro-boro ke tempat yang dianggap suci seperti itu, Bu. Orang tuanya saja jarang dikunjungi. Padahal dekat. Satu kota."

Penumpangnya terdiam. Rumah orang tuanya tidak sampai dua kilometer dari rumahnya. Setiap hari rumah rindang itu dilewatinya saat pulang pergi ke kantornya. Setiap hari. 

Sampai di depan kantor, sopir Xenia itu berhenti.

"Semoga sukses, Bu."

Perempuan berbaju merah, berpoles bedak, dan berlipstik merah pekat itu tersenyum. 

"Sukses juga untuk Bapak."

Senyumnya kecut. Wajah-wajah renta bijaksana di rumah rindang memenuhi kepalanya. 









Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di