Skip to main content

Tentang Ibu (2)

Ibu seorang Jawa. Seperti Jawa pada umumnya, ibu akan patah hati jika makan tanpa tahu, tempe, dan sayur bening. Setiap kali ditanya begini...

"Bu, besok mau dimasakin apa?"

Jawabannya selalu singkat, jelas, dan padat.

"Oyong ma wortel bening. Tahu dan tempe. Itu aja, Nak!"

Ringkas kan? 😆

Malam berikutnya, sehabis makan malam, sambil beberes...menantu akan mengulang pertanyaan yang sama. Lalu, Ibu akan kembali menjawab..."Labu siam pakai wortel dibening aja. Tahu dan tempe. Itu aja enak kok!" 😊

Malam berikutnya lagi, menantu Minangnya itu kembali melontarkan pertanyaan yang masih juga sama. Jawabannya tetap itu juga, hanya berbeda pada jenis sayuran hijaunya saja.

"Sawi putih sama wortel dibening. Tahu tempe. Segerkan?"

Atau

"Tauge sama wortel dibening. Tahu tempe. Apalagi kalau taugenya masih krenyes-krenyes pas dimakan...enak itu, Nak."

Cara beliau makan pun tidak jauh-jauh dari sunah Rasul. Jujur saja...menantu gembulnya ini sering malu sendiri kalau lihat sang mertua makan. Tiga sendok makan nasi peres adalah takaran maksimal di piring Ibu. Piring makannya pun tidak mau yang standar. Beliau makan di piring berukuran lebih kecil. Tidak ada lema 'tambah' dalam kamus makan pagi, siang, dan malamnya. Sedari zaman gadisnya sampai sekarang begitu itulah makan ala ibu. 😳

Begitulah Ibu. Jawa yang sederhana.


Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di