Skip to main content

Kopiku (Mungkin) Bukan Kopimu

Belum ada niat ke gerai ini untuk ngopi-ngopi. Saya masih setia aja dengan kopi kemasan yang murah meriah dan kopi hitam yang direbus langsung di dalam cerek. Ga gaul ya saya? Emang! Untuk urusan kampung tengah alias perut, orangnya memang susah untuk kompromi dengan rasa yang dienak-enakin karena kudu bayar mahal. Enak ya enaakk...mahal ya mahal. Menurut saya, itu dua hal yang berbeda dan tidak ujug-ujug karena tempatnya cozy plus banyak orang-orang yang harum, bersih, rapi, cantik, ganteng, bergaya kekinian, serta bergawai mahal duduk di sana ngopi-ngopi lalu saya latah ikutan. Hihihi. Bukan saya banget deh, ah. 😆

Kopi sasetan dan kopi hitam yang diseduh atau direbus di rumah dan kantor masih merajai indera pengecap saya. Dua jenis kopi itu masih enak diseruput. Enak dan murah sama hal nya dengan enak dan mahal merupakan dua hal yang berbeda. Namun, jika ada yang enak dan murah, mengapa tidak? Meskipun kemudian diiming-imingi dengan pesan singkat bahwa beli satu gratis satu untuk yang enak tetapi mahal itu, saya tetap bergeming. Saya tidak serta-merta kalap dan heboh pulang kantor langsung ke gerainya. No! Saya masih setia. Iya, kalau soal rasa, saya susah untuk main hati. Tsaahh...😉

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di