Skip to main content

Emak A dan Emak B

Perbincangan dua emak.
Emak A: Masih betah aja ga kemana-mana, Say?
Emak B: (mesem-mesem)
Emak A: Mumpung belum 40 loh. Nanti kalau sudah 40 malah susah nyari yang mau biayain beasiswa.
Emak B: (masih mesem-mesem)
Emak A: Tapi capek juga kali ya harus belajar lagi.
Emak B: Ga lah. Malah rencana ini mau ambil UT Pendidikan Dasar seandainya bisa bebas syarat sbg tenaga pendidik SD. Betulan ingin belajar banyak lagi ttg pendidikan dasar. Selain karena sedang punya anak kecil, sejauh ini kok belum lihat ya ada sekolah yang mengakomodasi pendidikan dasar yang tidak klasikal namun mengedepankan pendidikan karakter yang didukung sarpras yg baik dan sesuai dng dunia anak-anak, seperti montessori misalnya. Eh, abaikan montessori sebagai penganut agama yang berbeda ya, tapi garis bawahi metodenya mengedukasi anak-anak.
Emak B: Ooo...
#si emak A pasti berpikir lawan bicaranya sedang mengalami kemunduran gaya hidup atau selera karena punya niat 'berurusan' dengan UT utk prodi yang tidak umum dan bergengsi. Sementara itu, si Emak B sibuk bermimpi indah akan tugas-tugas kuliah yang ngangenin dan harumnya aroma buku berpadu dengan wanginya kopi plus bisingnya tangisan krucil. Perkuliahan bisa disesuaikan baik tempat apalagi waktunya. Bisa sambil momong anak-anak dan bapaknya anak-anak (bapak anak-anak dimomong gitu? Hehe...setahun dulu membuatnya jera, saudara-saudara ). Si Emak B pikir itu seru.

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di