Skip to main content

Yang Tak Tersentuh


Apa kabar deretan biografi dan beberapa buku-buku penambah ilmu buat bekal di sono yang sudah dipesan, dibeli, dan belum terbaca hingga detik ini? Bagaimana kabar mereka, Ilsa?

Mereka baik-baik saja.  Merekanya aman.  Saya saja yang merasa berdosa dan sok sibuk luar biasa karena energi yang saya harapkan masih tersisa untuk membuka mereka, membalikkan halaman demi halamannya setelah anak-anak tidur, ternyata tetap tidak bisa terealisasi dengan baik. 😧

Boro-boro buka buku, Jeung...balikin badan ke kiri aja susahnya minta ampun.  Lah wong anak wedhok saya saiki sukanya mentil sampe subuh.  Hebat kalo si semok itu bisa pules bertahan tidak mentil barang setengah jam saja.  Hebat!😍

Ya begitulah ya...salah satu kebahagiaan ala emak-emak beranak batita yang tidak akan berlangsung lama.  Hihihi...jadi saya tidak mengeluh loh ini ya. Tidak! Ini gara-gara sebelum berangkat tadi sudut mata saya tidak sengaja melihat tumpukan lima buku yang seakan-akan memanggil saya dan berkata..."Hei, sisihkan waktu untuk kami juga dong".

Yang menyedihkan itu, saya memandang mereka dengan merasa bersalah dan terpaksa meninggalkan mereka tetap menumpuk di atas meja ruang tamu. 😥

Nanti ya...tunggu neng geulis saya tidak 'bergantung' sama saya lagi. Janji! Pasti saya lahap! 😉



Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di