Skip to main content

Kram Pagi

Bangun tidur dng nyeri dada kiri itu jelas mengerikannya. Tidak lagi muncul kemungkinan a, b, c, atau d, melainkan sudah memastikan saja bahwa itu gejala serangan jantung. 😭

Pikiran langsung jelek sejelek-jeleknya. Apalagi teringat beberapa hari lalu sang bunda bilang ia bermimpi gigi atasnya tanggal satu. Tuhan yang tahu pagi ini saya begitu ngeri. Ngeri mati.

Pengasuh Izzati sekaligus kerabat kami hampir dua bulan lalu pergi dan tak kembali karena stroke yg diawali dng nyeri dada kiri yg menjalar ke bagian punggung belakang dan diikuti dengan sakit yg tak terperi ketika bernapas. Sempat pingsan setelah dikerok suaminya. Siuman ketika akan dibawa kr IGD dan tengah malamnya anggota tubuh bagian kanannya lumpuh. Seminggu kemudian, pada hari terakhir penutup bulan Januari ia menutup mata.

Jika kemudian ini juga terjadi, saya bisa apa? Belum sama sekali cukup bekal pulang yg akan saya bawa. Tidak ada apa-apanya.

Di IGD, diberikan bantuan pernapasan melalui tabung oksigen, di EKG, tanya-jawab dng dokter jaga, dan hasilnya adalah kram otot dada akibat batuk serta posisi tidur. Syukurlah. Namun, saya tidak bergembira serta merta juga. Baiknya jadi pengingat bahwa diri sdh harus berbenah banyak dr kini.

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di