Skip to main content

Begadang

Nak,

Izzati sayang,

Besok kalau sudah besar, sudah bisa membuka blog bundamu ini, dan sudah bisa membaca tentunya. Ingat ini ya, dinihari ini, pukul 02.46 WIB kamu sedang  flu berat. Untuk membuatmu bisa tidur lelap dan nyaman, Bunda mendekapmu dengan posisi kepala di atas bahu Bunda.  Tidak apa Bunda tak tidur, tidak masalah hanya berdiam duduk menyender pada dua bantal yg ditumpuk ayahmu pada kepala ranjang kami.  Tidak masalah sama sekali buat Bunda. Asal kau bisa pulas.

Nak,

Izzati Bunda sayang,

Dalam mendekapmu, Bunda membaca kabar duka tentang berpulangnya kakek kakak Anya. Anya itu putri lucunya Tante Siska yg dulu bekerja di NESO Jakarta, yang mengurusi beasiswa dan study Bunda di Belanda. Sembari mendekapmu itu, Bunda berpikir sendiri bahwa betapa singkatnya hidup ini.  Lahir dan mati. Datang dan pergi. Memang begitu aturan yg ditetapkan-Nya. Bunda hanya bertanya dalam hati, berapa lama lagi Bunda bisa melihat kalian bertumbuh. Apakah Allah akan memberikan kesempatan itu hingga kau dan abang-abangmu dewasa, berkeluarga, dan berbahagia bersama istri, suami, dan anak-anak kalian? Semoga ya, Nak. Semoga Allah mengijabah harapan Bunda ini.

Nak,
Senang rasanya mendengar nafasmu pertanda Kau nyenyak. Senang melihat abangmu juga tak banyak bergerak dlm tidurnya. Senang juga mendengar ayahmu mengorok. 😍

Lekas pergi pileknya ya, Nak.

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di