Kartini adalah ibu, yang saya panggil mama, yang menggadaikan nyawanya untuk lima nyawa yang dititipkan Allah di dalam rahimnya, yang pada suatu malam, dulu, membimbing tangan saya berjalan kuyup dalam guyuran hujan demi membeli buku geografi baru.
Kartini adalah perempuan yang melahirkan suami saya, yang saya panggil ibu. Perempuan berbadan kecil berhati teramat luas, yang suaranya diciptakan Tuhan tanpa oktaf tinggi sehingga ia tak tahu bagaimana cara berteriak dan membentak.
Kartini adalah ibu dari ibu saya yang wajahnya abadi, yang bekerja dengan tangan kidalnya, yang membuat semuanya apik dalam sentuhannya. Ia membuat halaman rumah berwarna. Yang meranggaskan semua ketika ia pergi. Ia, koki yang sangat dicintai kakek saya karena bistiknya, yang menyusun rapi tulang-tukang ikan pada pinggir piring suaminya, sebelum ia suapkan.
Kartini adalah ibu dari ayah saya, berselendang panjang, berbaju kurung, bersarung minang. Ia yang modern dalam ketradisionalannya. Ia yang menjadi segala bagi seorang angku guru, ayah dari tiga pasang anak-anak cerdas yang dilahirkannya. Ia yang tak hendak sesiapapun menyajikan kacang hijau panas dan sustagen hangat bagi sang guru di pagi hari. Ia yang berkolaborasi sedemikian rupa bersama Sang Angku, yang membentuk ayah saya menjadi laki-laki yang tak bisa diam, yang selalu gatal menggerakkan gergaji, paku, dan palu pada setiap perkakas rusak.
Kartinilah MEREKA! 💜💜💜
Comments
Post a Comment