Skip to main content

Pulang


Perempuan itu bersedekap.  Lama, dalam tangannya yang terlipat di bawah dada, ia terdiam.  Malu.  Terasa lama sekali tak disapanya Sang Pemilik Malam.  Tak kuasa ia menggerakkan bibirnya, memuji nama Sang Penguasa Hati. Terasa sekali ia seperti yang paling sombong.  Malu itu tak hendak pergi.

Perempuan itu membungkukkan badannya.  Satu titik pada hamparan di depan matanya, ia menghela nafas berat.  Segala suara hilang.  Senyap.  Hanya terdengar suara nafasnya.  Bahkan ia tak mendengar dengkuran belahan jiwa dan buah hati di belakangnya ada.  Terasa tak sanggup ia melafazkan Engkau Maha Besar.  Ia seperti yang paling pongah.  Malu itu tak hendak pergi.

Perempuan itu membungkukkan badannya.  Lama, dengan kening yang rata pada ubin putih dengan alas tanpa motif, ia luluh.  Ada kisah demi kisah dan kasih demi kasih bak layar tak putus berjalan di ruang matanya yg terpejam bergetar. Tak terbilang wajah putih bersinar bertabur senyum di dalamnya.

Perempuan itu bersedekap.  Lama, dalam tangannya yang terlipat di bawah dada, pada perutnya yang buncit.  Setiap tetes yang mewakili bait-bait Tuhannya, yg jatuh di pada perutnya, ia merasakan cinta.  Tak bersuara.  Tetapi bergaung di telinga.  "Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yg kau dustakan, Bunda?".  Ia teramat malu.

Lama sekali terasa tak disapanya Sang Maha menjelang pagi.  Tempat dimana ia biasa pergi.  Di atas alas tak bermotif.

Menjelang pagi.

Perempuan itu, membungkuk, mencium satu titik di depan matanya.  Ia merasa pulang.  Karena hanya pintu yang tak pernah tertutup itulah sebenarnya tempat ia bercerita tentang segala.  Ia sebenar-benarnya merasa pulang membawa jutaan syukur.  Perempuan itu.


Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di