Perempuan itu bersedekap. Lama, dalam tangannya yang terlipat di bawah dada, ia terdiam. Malu. Terasa lama sekali tak disapanya Sang Pemilik Malam. Tak kuasa ia menggerakkan bibirnya, memuji nama Sang Penguasa Hati. Terasa sekali ia seperti yang paling sombong. Malu itu tak hendak pergi.
Perempuan itu membungkukkan badannya. Satu titik pada hamparan di depan matanya, ia menghela nafas berat. Segala suara hilang. Senyap. Hanya terdengar suara nafasnya. Bahkan ia tak mendengar dengkuran belahan jiwa dan buah hati di belakangnya ada. Terasa tak sanggup ia melafazkan Engkau Maha Besar. Ia seperti yang paling pongah. Malu itu tak hendak pergi.
Perempuan itu membungkukkan badannya. Lama, dengan kening yang rata pada ubin putih dengan alas tanpa motif, ia luluh. Ada kisah demi kisah dan kasih demi kasih bak layar tak putus berjalan di ruang matanya yg terpejam bergetar. Tak terbilang wajah putih bersinar bertabur senyum di dalamnya.
Perempuan itu bersedekap. Lama, dalam tangannya yang terlipat di bawah dada, pada perutnya yang buncit. Setiap tetes yang mewakili bait-bait Tuhannya, yg jatuh di pada perutnya, ia merasakan cinta. Tak bersuara. Tetapi bergaung di telinga. "Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yg kau dustakan, Bunda?". Ia teramat malu.
Lama sekali terasa tak disapanya Sang Maha menjelang pagi. Tempat dimana ia biasa pergi. Di atas alas tak bermotif.
Menjelang pagi.
Perempuan itu, membungkuk, mencium satu titik di depan matanya. Ia merasa pulang. Karena hanya pintu yang tak pernah tertutup itulah sebenarnya tempat ia bercerita tentang segala. Ia sebenar-benarnya merasa pulang membawa jutaan syukur. Perempuan itu.
Comments
Post a Comment