Skip to main content

Tidak lagi-lagi...!



"Tambah, Bang?"

Kepalanya menggeleng. 

"Udah, cukup."jawabnya sambil menyudahi suapan terakhirnya.  Masih ada semangkuk kerang yang harus juga diselesaikan secara adat...hehe... jadi memang agak beresiko kalau harus tambah nasi lagi.

Menu makan siang yang dipilihnya hari ini adalah ikan gabus cabe ijo, gulai daun ubi, dan rempeyek udang.  Si Nyonya menjatuhkan pilihan pada lele goreng, sambal terasi, dan tahu kecap....plus itu tadi....semangkuk kerang yang baru saja dimasak.

Lele gorengnya enak.  Digoreng sedang, tidak terlalu kering, dan hebatnya tidak amis.  Menurut saya itu hebat lho...karena tidak semua orang bisa sukses menggoreng lele, mengeyahkan bau amisnya, apalagi ketika lele digoreng setengah kering atau tidak kering sama sekali.  Ikan cabe ijo yang dipiring suami juga saya cicip dan lumayanlah.  Kerang rebusnya yang agak mengecewakan karena jauh diluar ekspektasi saya yang memang penggila kerang dan sejenisnya. 

Tetapi usai makan, tetap saja ada yang berasa kurang pas...kurang memuaskan.  Saya bergumam dalam hati.  Kok ya semuanya terasa biasa saja ya?  Kok ya rasanya tidak seperti ketika selesai menyantap sebungkus nasi Topan ya? Pertanyaan yang sebenarnya juga sudah ada jawabannya.  Lalu saya ajukan pertanyaan ini ke suami.

"Abang kenyang ga?"

Beliau malah tertawa.  Dan saya juga ikutan tertawa.  Sama! Kami sama-sama kenyang tetapi tidak sempurna. 

"Makan siang dengan menu selain menu Padang itu ya seperti ini lah, Say.  Kenyang tapi begah.  Tadi semuanya kayaknya pake gula deh masakannya.  Cabe ijonyo pake gula.  Sayur daun ubinya juga pake gula.  Perut abang rasanya gimanaaa gitu..."

Saya geli sendiri. 

"Kembalilah ke selera asal, Abang."goda si nyonya ini sambil menggelitik pinggangnya. Jawa dan Gula kan seharusnya berteman baik, bukan?

"Sop kerangnya juga ya?"tanya saya lagi. 

"Iya. Tidak seperti biasa."maksudnya tidak seperti yang biasa dimasakin si istri ini.  Haha. Meronalah lah si nyonya.

"Afdolnya itu memang makan siang itu makan nasi Padang."selorohnya sendiri. Saya juga jadi dibuat tersenyum sendiri.  Afdolnya memang begitu karena makan siang itu seharusnya berkeringat dan itu tidak terjadi tadi ketika kami melahap makan siang kami berdua satu jam yang lalu.  Makan siang dan Nasi Padang memang tiada duanya deh.  

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di