Skip to main content

Ayah Saya dan Cintanya



Melewati sebuah rumah makan di pinggir jalan dengan deretan mobil-mobil yang parkir di depannya, ditingkahi aroma ikan bakar kecap yang semerbak, saya ingat suatu hari saya pernah menikmati makan siang yang telah begitu telat berdua dengan ibu saya di rumah makan itu.

"Hidangannya tidak ada yang luar biasa di rumah makan itu, Pa.  Biarpun begitu, selalu ramai."ujar saya pada ayah saya yang sedang menyetir mobil. 

"Tetapi justru disitulah bisa kita lihat betapa Allah itu adil ya, Pa.  Seandainya saja semua orang memiliki selera ikan bakar yang sama, pastilah hanya satu rumah makan saja yang laris tetapi ternyata Allah itu memberikan rezeki dengan ukuran enak yang berbeda pada setiap lidah orang.  Enak buat kita ternyata bisa berbeda untuk orang lain.  Karena berbeda itu, makanya rumah makan itu laris manis."

Ayah saya tersenyum.  Saya pikir beliau akan menimpali ucapan saya dengan mengusung ayat-ayat suci dari Tuhan yang selalu dibacanya pagi dan petang di ruang keluarga.

"Disitulah hebatnya mama. Hanya karena papa pernah bilang kalau ikan bakar di pelita itu enak, mama minta diajak makan ke sana, dan besoknya mama berulang kali mencoba membuat ikan bakar dengan rasa yang sama, bahkan sejak itu ikan bakar buatan mama terasa jauh lebih enak dari ikan bakar dimanapun."

Papa mengucapkannya sambil tersenyum.  Romantis.  Memuji sang istri di depan putri sulung mereka.  Sementara ikan bakar khas bunda menari-nari di pelupuk mata saya.  Racikan tangannya bertuah dan itu pernah saya ulas entah di postingan tahun berapa.  Sepanjang yang saya ingat, ayah saya tidak pernah berbohong. Saya tahu apa yang dikatakannya adalah benar karena ayah saya tidak pernah menyentuh ikan bakar lain dengan penuh semangat selain yang dihidangkan ibu saya, yang dibumbuinya sedemikian rupa, dibakarnya di atas unyaian bara batok kelapa.

Satu pelajaran dari ayah saya hari ini bahwa cinta itu hadir dari ketulusan untuk menyadari bahwa ada banyak hal dari pasangan kita yang sejatinya patut  diapresiasi yang tanpa disadari dapat menumbuhkan keromantisan yang alami, bukan keromantisan artifisial, tetapi sesuatu yang memang keluar dari hati dan insyaallah mengekalkan. 


Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di