Skip to main content

Lamaran Si Bungsu Kami

Prosesi lamaran si bungsu kami akhirnya berakhir sukses malam minggu, 30 Agustus 2014 kemarin.  Ba'da isya seluruh rombongan keluarga besar Syahrial Rosa dan karib kerabat mendatangi rumah calon adik ipar.  Acara lamaran tidak diset berpanjnag-panjang dan bertele-tele, singkat saja tetapi 'berisi' dan memenuhi aspek penting sebagaimana layaknya sebuah prosesi lamaran dan tidak juga mengenyampingkan tata cara adat yang seharusnya.  Singkatnya sesuai dengan harapan.

Banyak senyum dan tawa malam itu.  Selain memang dua orang yang mumpuni dalam berbalas seloko adat dalam prosesi lamaran yang mewakili masing-masing keluarga besar, seloko yang syarat makna, ditambah pula sedikit gurauan yang mencairkan suasana...dan tentunya hidangan makanan yang unik dan mengundang selera. 

Malam itu juga, ada lega yang tercipta di relung dada saya dan saya yakin juga bersemayam di hati seluruh adik-adik saya apalagi mama papa.  Si bungsu kami ternyata telah dewasa.  Ia telah menetapkan pilihan hatinya untuk menjadi pendamping dalam menjalani kehidupannya kedepan.  Ia akan menjadi imam bagi istrinya kelak dan menjadi nahkoda bagi keluarganya.  Saya, si sulung yang sedang berbahagia ini, malam itu ketika mama memasangkan cincin tanda ikatan di jari manis calon menantu, menghaturkan terima kasih yang maha dalam kepada Tuhan atas jalan lurus tanpa liku yang diberikan-Nya kepada kami semua dalam menemukan pasangan hidup masing-masing.  Jika bisa berbisik pada-Nya, saya akan berkata "Ya Tuhan, terima kasih untuk segala kesungguhan yang Engkau tanamkan pada orang tua hamba dalam membesarkan dan mendidik kami semua.  Karena kesungguhan mereka lah kami menjadi seperti ini.  Semua tidak terjadi secara kebetulan bukan?".

Di dalam ucapan terima kasih itu, saya juga menyelipkan sebuah doa..."Jadikan hamba memiliki kesungguhan seperti yang Engkau berikan kepada orang tua  hamba."

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di