Skip to main content

Laki-Laki di Pintu Itu

Laki-laki itu berdiri di pintu.  Seperti biasanya, ia tidak melangkah masuk, melainkan menunggu dengan tangan terbuka, bersiap memeluk sepasang jiwa kecilnya yang akan menghambur ke dalam pelukannya.  Masih saja seperti dulu.  Kehangatannya pada anak-anak tak pernah berubah.  Anak-anak tidak pernah melihat ia sebagai sosok yang garang.  Tidak pernah.

Laki-laki itu masih berdiri di pintu.  Bahkan ketika pelukan dari sepasang jiwa kecilnya telah usai.  Tangannya tidak terkembang seperti tadi.  Melainkan kuyu, layu pada masing-masing sisi badannya.  Pendaran cahaya matanya masih sama.  Tetapi kali ini sorot itu berasal dari sepasang mata cekung.  Entah ia menunggu apa.  Entah mungkin ia masih menduga akan ada pelukan lain yang akan menghambur ke dalam dadanya.  Entahlah.

Laki-laki itu masih berdiri di pintu.  Bahkan ketika ia bisa memastikan pupusnya asa akan pelukan dari yang dulu pernah dinisbatkannya sebagai yang tercinta.  Ia berusaha berlapang dada tetapi tidak pernah akan mencoba untuk mengerti karena memang semuanya wajar menurutnya. 

Laki-laki itu akhirnya melangkah masuk.  Menyapa.  Bertanya kabar belahan jiwanya yang belum lagi bisa dilihatnya rupanya seperti apa.

Dan perempuan yang berdiri menyambutnya dengan terpaku, yang enggan melabuhkan pelukan di dada yang dulu membuatnya merasa yang paling dicintai, bergumam di dalam hati.

 "Ia begitu kurus.  Tidak bisakah perempuan itu merawatnya dengan baik?"

 

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di