Laki-laki itu berdiri di pintu. Seperti biasanya, ia tidak melangkah masuk, melainkan menunggu dengan tangan terbuka, bersiap memeluk sepasang jiwa kecilnya yang akan menghambur ke dalam pelukannya. Masih saja seperti dulu. Kehangatannya pada anak-anak tak pernah berubah. Anak-anak tidak pernah melihat ia sebagai sosok yang garang. Tidak pernah.
Laki-laki itu masih berdiri di pintu. Bahkan ketika pelukan dari sepasang jiwa kecilnya telah usai. Tangannya tidak terkembang seperti tadi. Melainkan kuyu, layu pada masing-masing sisi badannya. Pendaran cahaya matanya masih sama. Tetapi kali ini sorot itu berasal dari sepasang mata cekung. Entah ia menunggu apa. Entah mungkin ia masih menduga akan ada pelukan lain yang akan menghambur ke dalam dadanya. Entahlah.
Laki-laki itu masih berdiri di pintu. Bahkan ketika ia bisa memastikan pupusnya asa akan pelukan dari yang dulu pernah dinisbatkannya sebagai yang tercinta. Ia berusaha berlapang dada tetapi tidak pernah akan mencoba untuk mengerti karena memang semuanya wajar menurutnya.
Laki-laki itu akhirnya melangkah masuk. Menyapa. Bertanya kabar belahan jiwanya yang belum lagi bisa dilihatnya rupanya seperti apa.
Dan perempuan yang berdiri menyambutnya dengan terpaku, yang enggan melabuhkan pelukan di dada yang dulu membuatnya merasa yang paling dicintai, bergumam di dalam hati.
"Ia begitu kurus. Tidak bisakah perempuan itu merawatnya dengan baik?"
Laki-laki itu masih berdiri di pintu. Bahkan ketika pelukan dari sepasang jiwa kecilnya telah usai. Tangannya tidak terkembang seperti tadi. Melainkan kuyu, layu pada masing-masing sisi badannya. Pendaran cahaya matanya masih sama. Tetapi kali ini sorot itu berasal dari sepasang mata cekung. Entah ia menunggu apa. Entah mungkin ia masih menduga akan ada pelukan lain yang akan menghambur ke dalam dadanya. Entahlah.
Laki-laki itu masih berdiri di pintu. Bahkan ketika ia bisa memastikan pupusnya asa akan pelukan dari yang dulu pernah dinisbatkannya sebagai yang tercinta. Ia berusaha berlapang dada tetapi tidak pernah akan mencoba untuk mengerti karena memang semuanya wajar menurutnya.
Laki-laki itu akhirnya melangkah masuk. Menyapa. Bertanya kabar belahan jiwanya yang belum lagi bisa dilihatnya rupanya seperti apa.
Dan perempuan yang berdiri menyambutnya dengan terpaku, yang enggan melabuhkan pelukan di dada yang dulu membuatnya merasa yang paling dicintai, bergumam di dalam hati.
"Ia begitu kurus. Tidak bisakah perempuan itu merawatnya dengan baik?"
Comments
Post a Comment