Ketika Mbah Uti pergi, pulang kembali ke Jakarta untuk mengurus passport dan segala urusan untuk keberangkatan beliau ke tanah suci yang insyaallah akan dilaksanakan tahun depan, suasana rumah terasa berbeda. Sebulan beliau bersama kami dan cukup memberikan warna pada keseharian kami sekeluarga.
Mbah Uti, mertua saya, perempuan tujuh puluh tahun yang terlahir untuk menjadi pengayom sejati itu tidak seperti perempuan kebanyakan. Beliau sangat bersahaja, Tuhan pun memberikan porsi kesabaran pada tempat yang tak bertakar di hatinya sehingga kami tak pernah melihatnya marah. Tidak pernah. Hanya senyum yang tak putus membingkai ujung bibirnya.
Ketika kemarin beliau akan terbang, mengenakan gamis hitam berhias bordiran keemasan dan manik-manik merah jambu, saya pasangkan jilbab senada di kepalanya sambil berpesan..."Bu, nanti kalau urusan ibu sudah selesai di Jakarta, kembali lagi ke sini, ya."
Mbah Uti, mertua saya, perempuan tujuh puluh tahun yang terlahir untuk menjadi pengayom sejati itu tidak seperti perempuan kebanyakan. Beliau sangat bersahaja, Tuhan pun memberikan porsi kesabaran pada tempat yang tak bertakar di hatinya sehingga kami tak pernah melihatnya marah. Tidak pernah. Hanya senyum yang tak putus membingkai ujung bibirnya.
Ketika kemarin beliau akan terbang, mengenakan gamis hitam berhias bordiran keemasan dan manik-manik merah jambu, saya pasangkan jilbab senada di kepalanya sambil berpesan..."Bu, nanti kalau urusan ibu sudah selesai di Jakarta, kembali lagi ke sini, ya."
Comments
Post a Comment