Skip to main content

Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

bahhumpug.com
 
Semalam ngobrol banyak (ga banyak-banyak amat sih) ma Mas Jun-ku.  Tentang? Yang pasti bukan tentang Jokowi atau Prabowo lagi secara pemilu sudah lewat dan sudah neg ga ketulungan liat tingkah laku ga karuanan koalisi yang dibentuk kelompok uedan itu untuk mencengkeramkan kekuasaannya.  Payah! Tidak legowo! Makin keliatan aja niat dasarnya untuk memanfaatkan rakyat demi kenyangnya sendiri.  Tuh kan...jadi nggrutu lagi deh kalo sudah bicarain ini.

Oke, kembali saja kita ke topik awal.  Obrolan kami bertopikan anak-anak.  Rio dan Hamzah.  Mulai dari perkembangan mereka sampai apa yang harus direncana ke depan tentang mereka berdua.  Rencana yang disesuaikan dengan kenyataan yang ada di depan mata tentang anak-anak itu sendiri.  Tentang kemampuan mereka, minat mereka, kelebihan mereka, kekurangan mereka....pokoknya semuanya.  Rencana kami tidak muluk-muluk.  Muluk-muluk itu berkonotasi 'ketinggian'...ibarat usaha pungguk merindukan bulan atau romantisme tangan yang ingin memeluk gunung.  Rencana kami adalah rencana yang terukur dalam artian kami ingin realistis saja.

Semisal Rio, sejauh ini kami (saya terutamanya) melihat dia masih konsisten dengan hobinya ngumpulin ikan, miara kucing (walaupun saya selalu protes dan kucingnya diungsikan ke tempat lain), dan miara ayam (yang nasibnya sama dengan si kucing...diungsikan juga).  Tadinya kami gembira ketika tercetus inginnya untuk menjadi dokter hewan, tetapi semakin ke sini, kami melihat Rio tidak memiliki ketekunan yang seharusnya dalam menjaga semua yang dikumpulkannya itu.  Dan kami mulai berpikir ulang walaupun begitu harapan dan doa tetap kami jaga. 

Lumayan juga obrolan dan diskusi kami berdua, hingga akhirnya si Mas tertidur dan saya ganti menatap Hamzah kecil yang gelisah, bolak-balik disebabkan pilek dan batuknya.  Entah mengapa tiba-tiba muncul saja di kepala saya sebuah pertanyaan ketika menatap wajah polosnya dengan rambut kruwil-kruwil yang menutupi setengah dahi jenongnya itu.

"Apa yang sudah saya persiapkan untuk pendidikannya?"

Saya seperti tersadar.  Iya...ya....apa yang sudah saya siapkan secara serius untuk anak-anak saya? Sementara waktu terus berjalan.  Tidak sedetik pun berhenti.  Hamzah sudah 2.5 tahun sekarang.  Rio sudah 12 tahun.  Mengapa masih saja hura-hura dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja.  Bukankah saya paling benci dengan segala sesuatu yang dadakan? Astaga!

Dan pagi ini, saya bangun dengan berbagai rencana di kepala untuk masa depan si buah hati.


Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di