Skip to main content

Hanya Semata Kita


Hamzah, seorang teman bunda memberikan semangat pada bunda untuk mengambil sebuah kesempatan emas yang katanya tidak akan datang dua kali.  Ujarnya pula, tidak apa-apa bunda berjauhan dengan keluarga selama keluarga memberikan support. Apalagi teknologi sudah begini canggih, bisa telfonan, atau terbang pulang kapan saja bunda mau.

Ia melakukan hal itu dan semuanya aman-aman saja, pungkasnya. Tidak ada masalah.  So far so good.  
Ah, Nak...bunda yang akan bermasalah jika kedua tangan ini tidak lagi bisa menyiapkan makan malam untukmu, abang, dan ayah.  Kerap bunda baca dari berbagai bahan bacaan bahwa kualitas pertemuan akan lebih menentukan hubungan antar anggota keluarga.  Sayangnya itu tidak berlaku untuk wanita yang melahirkanmu ini, yang juga telah hampir dua belas tahun menjalani hidupnya dengan ayahmu.  Kuantitas dan kualitas berjarang seiring.  Dan masalah besarnya itu juga akan  ada pada bunda ketika berkepanjangan terbangun di pagi hari dan tidak bisa lagi mendengar rengekanmu menahan bunda untuk tetap berbaring disampingmu, menjadikan lengan kanan atas ini sebagai bantal bagi kepalamu yang berambut ikal itu. Sesungguhnya bunda yang akan merasa ada yang salah ketika harus berbicara tanpa bisa menatap matamu, mata abangmu, dan mata ayahmu yang teduh itu.

Teknologi secanggih apapun tidak akan bisa menggantikan kehangatan pelukan, tatapan, dan belaian sayang.
Hanya jika bunda bisa membawa serta seluruh bagian hati ini, maka bisa lah bunda terbang. Karena waktu, Nak....waktu tak pernah menjanjikan terulangnya satu detikpun yang terlalui tanpa ada bunda di dalamnya.
Semata hanya karena bunda adalah ayah, abang, dan kamu.

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di