Pagi ini bersama abang ojek yang mengantar saya pulang untuk mulai ngebut dengan laporan yang ditunggu tenggat waktu. Saya mulai percakapan dengan sebuah pertanyaan standar yang masih hot ditanyakan sebelum pengumuman tanggal 22 Juli besok.
Saya: "Bang, kemarin milih siapa?"
Si Abang: "Saya golput, Yuk."
Saya: "Ga nyoblos, Bang? Sayang, kan?"
Si Abang: " Nyoblos. Saya coblos kedua-duanya."
Kami diam sejenak. Ada polisi tidur di depan gedung SLB yang harus membuatnya menurunkan kecepatan motor bebek merahnya.
Si Abang: "Saya sudah malas, Yuk. Coba Ayuk lihat, sudah pemilu pun, mereka masih juga beributan. Seperti anak kecil..! Padahal mereka orang intelek, seharusnya bukan seperti itu kelakukan mereka sebagai calon pemimpin. Semua mau menang."
Saya: "Iya, sih. Mereka memang terkesan dak sabaran nunggu hasil resmi KPU ya, Bang."
Si Abang: "Mereka semua itu penipu, Yuk. Pemerintah yang sekarang itu penipu semua. Terus terang...saya lebih milih jaman dulu."
Saya: "Jaman Suharto?"
Si Abang: "Iya. Jaman dimana semua pemimpin dipilih di atas. Sekarang, kita milih pemimpin kita sendiri, kita pun dikibuli. Tetapi dulu, pemimpin yang bagus di daerah yang sudah dibuatnya maju, akan digilir ke daerah yang belum maju. Sekarang? Ayuk liat sendiri kan? Janji-janji berkepanjangan."
Motor bebeknya berhenti di depan rumah saya. Obrolan kami harus selesai. Tetapi saya masih ingin memberikan kesudahan yang membesarkan hatinya dan hati saya juga.
"Kita tunggu bae tanggal 22 Juli, Bang. Siapapun yang menang, berarti itu lah pilihan Tuhan yang terbaik buat kita. Semoga beliau bisa amanah" pungkas saya sambil menyodorkan selembar pecahan lima ribu ke tangannya.
Memang seperti itulah harapan saya dan abang ojek itu, semoga the next president, siapapun diantara kedua capres dan cawapres itu yang akan melenggang ke Istana Merdeka, mau dengan proses lanjutan di MK atau tidak, harapan kami sederhana saja sebenarnya....yang penting ia bisa menjadi pelayan rakyatnya. Itu saja.
Comments
Post a Comment