Skip to main content

Tentang Papa: Bukan Pagi Biasa



Jika ada yang bertanya, momen apa yang paling saya sukai di pagi hari saya? Saya akan segera menjawab..."Ketika saya duduk bersama ayah saya di dalam mobil menuju kantor". 

Sudah menjadi semacam kegiatan rutin yang mungkin juga dinikmati papa (begitu saya memanggil beliau) untuk menjemput saya dan Hamzah (cucunya) menjelang pukul delapan pagi.  Pukul delapan kurang lima belas menit deru mobil yang beliau bawa tepat berhenti di depan rumah.  Ketika saya muncul di teras dengan segala tentengan perlengkapan Hamzah dan tas kerja saya, papa akan melirik dengan senyum dan pastinya pula dengan buku terbuka di kedua tangannya yang bersandar pada setir mobil.  Konsep mubazir buat papa bukan terbatas hanya pada makanan atau minuman yang tak habis dimakan lalu dibuang, membeli barang-barang baru karena semata keinginan yang mengabaikan prinsip butuh tidaknya, tetapi termasuk juga di dalamnya adalah membiarkan menit demi menit berlalu tanpa bacaan.  Jika ada yang membuat papa jatuh cinta untuk yang kedua, ketiga, dan kesekian kalinya....itu adalah buku.  He is truly a bookworm and it has brought many countless benefits for us.  Nanti, di lain waktu saya akan kupas habis hobi nomor wahid beliau ini. 

Dalam perjalanan ke kantor saya sambil beliau menyetir mobil, ada banyak hal yang menjadi topik bahasan kami dalam waktu 10 menit.  Tetapi saya paling suka ketika bertanya banyak hal tentang masa muda papa, kebiasaan-kebiasaan beliau, apa yang dilakukannya yang kami tidak ketahui hingga bisa menjadikan kami (saya dan adik-adik) seperti sekarang ini, karena menurut saya itu penting untuk ditanyakan guna menjadi model untuk saya dan adik-adik membesarkan anak-anak kami, menjadikan keluarga kecil kami menjadi sempurna (dalam pandangan saya) seperti keluarga papa, walaupun memang dengan perubahan waktu dari dulu dan sekarang, tentunya tidak semua bentuk pendidikan dan perlakuan bisa diterapkan persis sama karena bagaimanapun, zaman telah berubah.

10 menit yang singkat, setiap hari, membuat saya merasa berada di dekat papa setiap pagi menjadi sebuah keharusan untuk menyerap apapun yang dikatakannya, lalu tinggal di dalam kepala saya, untuk kemudian akan saya simpan, lalu saya ceritakan kembali kepada suami pada 20 menit sebelum lelap.  Karena cerita papa, cerita yang bernilai.

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di