"Mas Ardika akan segera menjadi seorang ahli geotermal. Kami akan menghadiri wisudanya dua bulan lagi. Anakku itu gagah sekarang." suaranya tenang. Tangannya konstan bergerak membersihkan guguran bunga-bunga yang basah.
"Titip salam untuk Om Dimas katanya. Wajahmu abadi di kepalanya, Mas." senyumnya mengembang. Ada kelumitan masa lalu yang bergerak lambat dimainkan waktu di depan matanya.
Kenangan yang jauh berjarak darinya sekarang, tetapi begitu dinikmatinya, walaupun dulu hampir tidak ada satu pun orang-orang yang mengerti dengan apa yang mereka jalani, rasai, dan nikmati. Hanya mereka berdua yang mengerti bingkai bernama apa yang akan mereka pasangkan pada kisah yang mereka jalani saat itu.
"Mas Arya telah menetap. Tidak lagi wara-wiri seperti dulu. Kami bahagia."entah apa kumpulan bunga flamboyan pastel itu dapat menangkap lirih pada kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya.
Nafas beraroma flamboyan yang dihirupnya mulai terasa lembab. Tidak ada lagi guguran bunga-bunga basah di depan tempatnya bersimpuh. Rinai memaksanya bangkit. Meninggalkan sebuah nama pada hitamnya nisan granit yang telah diusapnya dengan telapak tangannya sendiri.
Pada langkah ke tujuh, ia menoleh, Oktober depan di tempat rendezvous ini ia akan kembali. Ketika delonix regia mekar.
Comments
Post a Comment