Skip to main content

Ikan-ikan Rio

Begini rupanya hebohnya punya anak cowok.

Kemarin pulang sekolah, didapati cuma sepatunya aja yang malang melintang di depan pintu.  Pasti si Rio mikir...(ahay....bagoeezz....pas bener lah ayah bunda belum pulang....jadi bisa mancing sambil ujan-ujanan).  Bener aja! Selang satu jam kemudian, ketika Hamzah sudah harum semerbak abis mandi, dan emaknya ini sedang berjibaku di dapur, dia datang dengan toples plastik besar berisi ikan-ikan kecil dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit berikut tumbuhan air yang menjalar di dalamnya.  Celana panjang merahnya kuyup.  Bajunya? Sama! Plus noda lumpur di beberapa tempat.  Tetapi mukanya bahagia! Ya eyalah....! Anugerah banget gitu lho! Bisa ujan-ujanan, mancing, dan pulang ga dipelototin karena dah mo maghrib...dengan alasan..."Hujan, Bun!".

Ternyata oh ternyata...wajahnya yang bahagia itu bukanlah ekspresi kebahagiaan tunggal karena dapat ikan semata.  Selain bisa ujan-ujanan, bisa mancing, bisa dapat ikan banyak dan sebagian hibahan dari temannya, yang terpenting adalah....keluarga besar ikan-ikan yang dibawanya itu bisa dengan nyaman berenang-renang di 2 bak mandi adiknya waktu bayi dulu.  Izin pakainya didapat dari pemutus kebijakan tertinggi  di rumah kami alias si ayah.  Jadi , teman...bayangkanlah teras belakang rumah saya yang dihiasi dua bak mandi bayi yang tanpa bantuan tongkat ajaib Winnie the Witch telah menjelma menjadi aquarium lucu bergambar kartun pororo dan satu lagi beruang biru berhidung kuning. Persis...! Ikan-ikan itu dengan nyaman berenang di dalamnya.  Dan Rio pun alang kepalang senangnya melihat puluhan ikan keci-kecil itu tak lagi sesak di dalam toples plastik bekas wadah sosis.

Itu masih belum apa-apa.

Malamnya, si sulung kembali membuat kejutan.

 "Bun, Rio harus misahin anak-anak ikan yang kecil-kecil biar dak dimakan sama induknya.  Bunda punya saringan teh?"tanyanya polos di depan pintu dapur dengan mata menyelidik ke tempat perkakas memasak.

"Jangan donk, Yo.  Masak saringan teh dipake buat misahin ikan.  Jorok, ah!"

"Kalau saringan santan? Rio cuci lagi lah Bun abis dipake."pintanya setengah memaksa.

Habis kata! Ya sudahlah! Ikhlaskan saja!

Dan pagi ini, saringan santan itu sudah ditempatnya lagi.  Si bunda pun kemudian mengambilnya, meletakkannya di dekat 'aquarium' Rio. Saringan santan ini akan menjadi saringan ikan dan selamanya tidak akan kembali menjadi saringan santan. Sebelum berangkat sekolah pun, sempat-sempatnya ia berpesan..."Bun, ikan-ikan Rio jangan sampai dimainin Hamzah ya".

Ah, Rio...semoga saja guru-guru dan teman-temannya di sekolah hari ini tidak berubah menjadi ikan di matanya.  

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di