Skip to main content

Hujan, Jemuran, & Ikhlas

Hujan. Lebih ke rinai.  Tetapi lumayan rapat.  Langsung  terbayang deretan jemuran pakaian Hamzah yang seharusnya sudah kering semua.  Lalu saya ambil telfon genggam...tangan saya menari di atas keypad.

'Yah, hujan...basah lagi semua jemuran di rumah' pesan terkirim.  Lalu satu pesan balasan masuk 'Ya, Sudah.  Ga papa.  Belajar ikhlas dengan ketetapan Allah'.

'Ok deh, Pak Ustad' balasan saya pun terbang.  Saya rasa ayah si Hamzah sedang tertawa membaca pesan balasan yang saya kirim. Lalu tak berapa lama...'Disesali ga dapat pahala, kalo ikhlas dengan ketetapan Allah, hati jadi tenang, dan jadi pahala...' ujar beliau dalam pesan balasannya yang diakhiri dengan smiley emoticon.

Saya tersenyum.  Bicara tentang apa pun, si ayah memang selalu menyejukkan. Tetapi apa yang dikatakan beliau benar adanya.

Keikhlasan bukan hanya dalam hal memberi, tetapi juga menerima apa yang sudah menjadi ketetapan Allah. Sepertinya hanya hujan ya, hal yang sepele, tetapi sore ini, ada pelajaran yang dibawanya.  Hujan dan jemuran yang kembali basah.  Semuanya ternyata mendatangkan kebaikan.

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di