Skip to main content

Bunda yang Bahagia

Rio: "Bunda senang jika Rio dapat nilai 100 waktu ulangan atau ujian?"

Bunda: " Iya, Nak.  Bunda senang. Tetapi senangnya masih ada yang bisa ngalahin."

Rio: "Bunda lebih senang kalo Rio belajarnya ndak disuruh lagi?"

Bunda: "Tentu.  Tapi masih ada yang bisa ngalahin senangnya Rio belajar tanpa disuruh lagi."

Rio: "Kalo Rio narok baju kotor dan handuk abis pakai ke box cucian sebelum berangkat sekolah?"

Bunda: "Iya. Tapi bukan itu."

Rio: "Kalo Rio langsung cuci piring abis makan? Kalo Rio langsung ngaji abis maghrib? Kalo Rio jagain Hamzah pas Bunda masak?"

Bunda: (Merengkuh sulung tercinta dalam pelukan, menggosok-gosok kepalanya) "Bunda senaaaaaang melebihi apapun kalo liat Rio langsung sholat begitu abis azan."

Si sulung diam dalam-dalam sambil tersenyum.

Bunda sayang Rio, Nak.  Karena sayangnya, bunda kerap cerewet ngingatin Rio untuk sholat, tidak pernah mau Rio alpa satu sholat pun. Maaf ya kalau Bunda sering membangun Rio yang sudah terlelap untukk sholat isa.  Karena Bunda sayang Rio.  

Kalo nanti Rio baca ini, Rio tau? Bunda seperti pengen terbang saking senangnya tiap kali nelfon ke rumah nenek untuk ngingatin agar jangan lupa sholat dan dijawab kalao Rio-nya lagi sholat ke mesjid.  Hati bunda serasa menggelembung besar karena girangnya.  Bunda makin sayang sama Rio. :) 



Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di