Skip to main content

Antrian Terus Berjalan


“Mereka sehidup semati ya”.  
          Kalimat itu yang pertama kali saya dengar begitu menjejakkan kaki di kantor.  Sebuah kelanjutan dari pesan singkat yang saya baca pukul 10 tadi malam.  Tentang berpulangnya ayahanda dari istri rekan sejawat kami.  Padahal belum usai tangis yang mengeringkan air mata, meratapi kepergian ibundanya tercinta yang tak genap dua minggu lalu.
          Allah SWT telah menggariskan takdir kita sendiri-sendiri.  Menulis kapan, dimana, dan dalam kondisi apa kita akan berpulang menghadapnya.  Apakah ketika masih muda, ketika fisik sedang gagah-gagahnya, atau disenja usia yang memutihkan setiap helai rambut kita? Apakah kita akan pergi dengan tenang, dengan menggenggam tangan pasangan kita, dikelilingi anggota keluarga tercinta? Atau justru sebaliknya? Terpuruk sendiri dan pergi dengan didera rasa sakit yang menggerogoti raga?
          Allah juga yang mengatur dari semulanya bahwa orangtua teman kami yang telah berpulang dengan jarak yang begitu dekat itu.  Ia yang mengatur segala.  Ia yang punya hak atas nyawa kita.  Kita hanya bisa meminta dalam doa agar setiap  jiwa yang diambilnya dapat diberikan ketenangan di sisi-Nya dan  semoga ketabahan dan kekuatan diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan. 
          Melalui berita duka ini,  Ia juga serta merta mengingatkan kita bahwa antrian itu terus berjalan dan sudahkah kita ‘merapikan’ diri menjelang tiba waktu kita?

*Belasungkawa yang dalam untuk  Ijah dan Ikhsan.


         

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di