“Mereka sehidup semati ya”.
Kalimat
itu yang pertama kali saya dengar begitu menjejakkan kaki di kantor. Sebuah kelanjutan dari pesan singkat yang saya
baca pukul 10 tadi malam. Tentang
berpulangnya ayahanda dari istri rekan sejawat kami. Padahal belum usai tangis yang mengeringkan
air mata, meratapi kepergian ibundanya tercinta yang tak genap dua minggu lalu.
Allah
SWT telah menggariskan takdir kita sendiri-sendiri. Menulis kapan, dimana, dan dalam kondisi apa
kita akan berpulang menghadapnya. Apakah
ketika masih muda, ketika fisik sedang gagah-gagahnya, atau disenja usia yang
memutihkan setiap helai rambut kita? Apakah kita akan pergi dengan tenang,
dengan menggenggam tangan pasangan kita, dikelilingi anggota keluarga tercinta?
Atau justru sebaliknya? Terpuruk sendiri dan pergi dengan didera rasa sakit
yang menggerogoti raga?
Allah
juga yang mengatur dari semulanya bahwa orangtua teman kami yang telah
berpulang dengan jarak yang begitu dekat itu.
Ia yang mengatur segala. Ia yang
punya hak atas nyawa kita. Kita hanya
bisa meminta dalam doa agar setiap jiwa
yang diambilnya dapat diberikan ketenangan di sisi-Nya dan semoga ketabahan dan kekuatan diberikan
kepada keluarga yang ditinggalkan.
Melalui
berita duka ini, Ia juga serta merta mengingatkan
kita bahwa antrian itu terus berjalan dan sudahkah kita ‘merapikan’ diri
menjelang tiba waktu kita?
*Belasungkawa yang dalam untuk Ijah dan Ikhsan.
Comments
Post a Comment