Skip to main content

Hamzah Galau

Hamzah pun ternyata bisa galau.:)

Kemarin sedari pagi ditinggal bunda yang harus menghadiri seminar tentang tradisi lisan di Hotel Ratu.  Persis selama delapan jam absen bersua, selama delapan jam juga tidak mendengar suara bunda, dan selama itu pula dingin-dingin saja tanpa pelukan dan gendongan bunda.  Oh, dear.....!

Sementara di Ruang Sumatera, Hotel Ratu, tempat diselenggarakannya seminar, sang bunda dari pukul sepuluh sudah mulai gelisah karena dadanya mulai terasa penuh dengan ASI yang seharusnya sudah berpindah ke lambung jagoan kecilnya.  Dan makin tak nyaman di kursi hingga makan siang, berlanjut sampai pukul tiga sore dan akhrinya ketika pembawa acara menyatakan bahwa acara seminar telah selesai...tanpa ba bi bu lagi si bunda bergegas meninggalkan hotel dan meminta tukang ojek mengantarnya pulang secepat mungkin.  Demi ASI, demi si buah hati, demi Hamzah.

Begitu motor si tukang ojek berhenti di depan pagar rumah, Hamzah muncul di dalam gendongan tantenya.  Anak bujang kecil saya menyambut dengan senyum yang sumringah.  Badannya berguncang di dalam pelukan sang tante.  Kedua tangannya tak henti bergerak mengisyaratkan untuk segera diambil dan digendong sang bunda.  Ah, Nak....to see your smile after eight hours away is so wonderful.

Lalu sampai malam, sampai menjelang tidur, si jatung hati tak hendak diletakkan dimana pun kecuali di pelukan bundanya.  Seperti kapok ditinggal lama lagi, tak mau bunda jauh pergi.  Hingga malam juga, menjelang terlelap, seperti balas dendam menghisap kuat ASI bundanya, memegang dada bunda dengan kedua tangan kecilnya, menatap lekat kedua mata bunda, dan saling berbicara dalam bahasa cinta. Bunda menyayangimu, Nak. :)


Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di