Skip to main content

Ketika Flu Memisahkan Kami

Batuk pilek membuat saya harus rela tidur berjauhan dari Hamzah. Batuk pilek juga membuat saya lebih cerewet mengingatkan Rio untuk tidak dekat-dekat dan menempelkan bibir atau pipinya ke si adik. Semalam, antara sadar dan tidak saya mendengar suami bersin-bersin dengan meriahnya dan segerobak (lebay sih....) tisu teronggok di keranjang sampah. Lalu paginya, ketika beliau akan masuk ke kamar dimana Hamzah diungsikan, saya langsung mengingatkan untuk tidak menggendong atau mencium si arjuna. Terdengar sadis memang, tetapi harus dilakukan, karena saya betul-betul tidak tega melihat Hamzah pilek dan batuk seperti minggu lalu. Alhamdulilah, pileknya sudah sembuh, tetapi batuknya masih menyisakan sedikit suara grok-grok setiap kali bernafas dan sesekali batuk kecil. Semoga besok sudah hilang batuknya ya, Son.

Masalah yang muncul ketika Hamzah tidak berada disisi saya malam hari adalah nyeri yang bukan main pada payudara ketika bangun pagi hari karena ASI yang sudah penuh. Maka ritual pagi dimulai dengan membersihkan diri, tangan, mengganti pakaian, dan mengenakan masker sebelum menyusukan Hamzah. Usai jagoan saya sarapan, gantian pompa ASI yang memerah seluruh ASI yang tersisa, memasukkannya langsung ke dalam botol-botol yang telah disiapkan dan alhamdulilah pagi ini bisa dapat lebih kurang 400 cc. Lega rasanya tetap bisa memberikan ASI, meskipun si bunda harus ke kantor dan baru bisa pulang menjelang makan siang nanti. Paling tidak, sedikit rasa bersalah karena harus meninggalkan si kecil di rumah terbayar. Walaupun tak terbayar lunas. Karena bagaimanapun yang paling baik tentunya tetap berada disampingnya dan memberikan ASI fresh from my breast whenever he needs it.

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di